RI News Portal. Semarang, 4 November 2025 – Sebuah kasus dugaan penguasaan tanah ilegal yang melibatkan penebangan liar pohon dan proses lelang yang bermasalah kembali menyoroti praktik mafia tanah di Jawa Tengah. Keluarga Rubiyati, pemilik tanah seluas 2.659 meter persegi di Desa Gedong, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal, telah menerima perlindungan hukum dari tim kuasa hukum yang terafiliasi dengan Gerakan Jalan Lurus (GJL) dan Gerakan Anti Mafia Tanah Republik Indonesia (GAMAT-RI). Pertemuan ini berlangsung pada Senin (3/11/2025), di mana tim tersebut berjanji untuk mendalami kronologi kejadian dan melaporkan dugaan tindak pidana ke Polda Jawa Tengah.
Kasus ini mencuat ketika Rubiyati, yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 01346 atas tanah warisannya, menduga adanya manipulasi dalam proses lelang agunan kredit di PT BPR Enggal Makmur Adi Santoso (BPR EMAS) cabang Kaliwungu. Tanah tersebut awalnya dijaminkan untuk kredit, dengan sisa hutang hanya sekitar Rp 229 juta. Namun, hasil lelang yang diduga terjadi pada 17 September 2025 menjual aset tersebut seharga Rp 255 juta—jauh di bawah harga pasar yang mencapai Rp 500 juta—sehingga keluarga hanya menerima kelebihan bayar Rp 25,75 juta. Lebih ironis, penebangan kayu di lahan tersebut sudah dilakukan sejak awal September, jauh sebelum tanggal lelang resmi.
Menurut penjelasan Rubiyati, kronologi dimulai pada 26 Agustus 2025, ketika BPR EMAS menggelar lelang awal. Dua hari kemudian, surat keterangan pelunasan dikirim, meski baru sampai ke tangan keluarga pada 27 September. Pemberitahuan hasil lelang pada 25 September hanya berisi nomor risalah tanpa nama pemenang. Suami Rubiyati bahkan sempat menebang sebagian kayu pada 2 September untuk keperluan pribadi. Namun, penebangan skala besar baru terjadi sekitar 3-7 September oleh oknum berinisial M, yang diduga pemenang lelang. Puncaknya, pada 31 Oktober 2025, oknum M menebang lagi dengan membawa sertifikat yang telah dibalik nama atas namanya, lengkap dengan risalah lelang bertanggal 17 September.

“Ini tidak masuk akal. Jika lelang baru pada 17 September, bagaimana penebangan sudah dilakukan sejak awal bulan? Dan jika surat pelunasan sudah dikeluarkan 28 Agustus, mengapa lelang kedua masih digelar tanpa pemberitahuan apa pun kepada kami sebagai pemilik agunan?” tanya Rubiyati dengan nada kesal, menyoroti ketidaksinkronan dokumen yang menimbulkan dugaan adanya kolusi.
Tim kuasa hukum, yang dipimpin oleh Adv. Donny Andretti—seorang pengacara berpengalaman dari Firma Hukum Subur Jaya—dan Sukindar sebagai Ketua Pengacara dan Bantuan Hukum (PBH) Feradi WPI cabang Kota Semarang, menilai kasus ini memenuhi unsur tindak pidana. “Ini bukan sekadar sengketa tanah, tapi dugaan pencurian dan perusakan barang orang lain sebagaimana Pasal 406 KUHP, yang mencakup penebangan pohon tanpa izin,” ujar Sukindar, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua GJL dan GAMAT-RI Jawa Tengah. Ia menambahkan, sanksi pidana bisa berupa penjara atau denda, tergantung tingkat kerusakan.
Lebih lanjut, Sukindar menuding adanya unsur penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP terhadap BPR EMAS. “Penjualan di bawah harga pasar merugikan nasabah secara material. Hutang tinggal Rp 229 juta, tapi kelebihan bayar hanya Rp 25 juta? Ini menunjukkan ada permainan harga yang sengaja merugikan debitur,” katanya. Sebagai Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Akhir Indonesia (YLKAI) Semarang, Sukindar menekankan komitmen tim untuk memastikan klien mendapatkan restitusi atas kerugian materil, termasuk nilai pohon yang ditebang dan hak atas tanah yang masih dikelola pemilik asli tanpa putusan pengadilan.
Baca juga : Progres Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Mukomuko Capai 50-60 Persen, Target Rampung Akhir 2025
Feradi WPI, sebagai wadah profesi advokat dan paralegal di Indonesia, menaungi tim ini dengan fokus pada peningkatan integritas hukum. Donny Andretti, yang memiliki rekam jejak menangani perkara pidana dan perdata, menambahkan bahwa kasus ini mencerminkan pola mafia tanah yang sistematis: manipulasi lelang, pembalikan dokumen, dan eksploitasi agunan untuk kepentingan pihak ketiga. “Kami akan tindak lanjuti dengan laporan ke Polda, meminta perlindungan hukum penuh, dan memastikan kepastian atas hak tanah Rubiyati. Ini soal keadilan bagi rakyat kecil yang sering jadi korban,” tegasnya.
Kasus ini bukan yang pertama di wilayah Kendal dan sekitarnya. Praktik mafia tanah di Jawa Tengah telah menjadi isu kronis, dengan laporan serupa di Batang dan Semarang yang melibatkan pemalsuan dokumen dan penyerobotan lahan. Meski demikian, kasus Rubiyati menonjol karena ketidaksesuaian timeline lelang yang sulit dijelaskan secara administratif, menambah lapisan kompleksitas pada dugaan kolusi antara lembaga keuangan dan pihak eksternal. Tanpa intervensi cepat, korban seperti Rubiyati berisiko kehilangan aset warisan secara permanen, sementara kerusakan lingkungan dari penebangan liar mengancam ekosistem lokal di Patean.
Tim hukum berharap proses hukum ini dapat menjadi preseden bagi penegakan aturan perbankan dan kehutanan. Sementara itu, Rubiyati menyatakan rasa syukur atas dukungan, meski trauma atas kehilangan potensi pendapatan dari tanahnya masih membekas. “Saya hanya ingin hak kami kembali, tanpa harus berjuang sendirian melawan sistem,” pungkasnya.
Pewarta : Sriyanto

