
RI News Portal. Lampung Tengah – Dugaan praktik belanja manipulatif di dua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Lampung Tengah, yakni Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPKB), memicu perhatian publik setelah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit Tahun Anggaran 2024. Temuan ini turut dikritisi oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GN-PK) Provinsi Lampung, yang menilai bahwa indikasi penyimpangan anggaran merupakan preseden buruk dalam tata kelola keuangan daerah.
Imausah, Ketua GN-PK Provinsi Lampung, melalui Sekretarisnya Dedi Susanto, menegaskan bahwa temuan BPK ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan potensi tindak pidana korupsi.
“Ini merupakan bukti preseden yang buruk dalam pengelolaan anggaran yang bersumber dari pajak masyarakat. Terjadi upaya manipulatif belanja yang patut diduga mengindikasikan mark up dan gratifikasi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri,” ujar Dedi dalam pernyataan resminya.
GN-PK menyoroti kejanggalan mekanisme pengadaan barang melalui e-katalog. Menurut Dedi, proses pengadaan hanya dilakukan secara administratif, sementara pembelian barang justru dilakukan di luar sistem e-katalog.
“Jelas ini perlu dikulik lebih dalam. Masa iya belanja pemesanan lewat e-katalog, tapi barangnya dibeli di luar e-katalog. Kami akan membentuk tim untuk mengkaji dugaan mark up dan gratifikasi ini, kemudian melaporkannya kepada aparat penegak hukum (APH),” tegasnya.

Temuan BPK dan Indikasi Kerugian Negara
Berdasarkan data BPK, belanja Alat Tulis Kantor (ATK) dan bahan cetak di dua OPD tersebut mencapai total pagu Rp1.187.576.075 dengan realisasi Rp1.037.150.140, dengan rincian sebagai berikut:
- Bappeda
- Belanja alat/bahan kegiatan kantor: Rp349.974.700 (realisasi Rp318.474.200).
- Belanja bahan cetak kegiatan kantor: Rp714.442.975 (realisasi Rp604.725.890).
- Dinas PPKB
- Belanja alat kegiatan kantor (ATK): Rp18.407.900 (realisasi Rp17.459.000).
- Belanja bahan cetak kegiatan kantor: Rp104.750.500 (realisasi Rp96.491.050).
Belanja tersebut tercatat melalui dua rekanan, yakni CV BTL dan CV BSS, dengan sistem e-katalog. Namun, pemeriksaan BPK-RI Perwakilan Provinsi Lampung mengungkap bahwa barang-barang pesanan tidak pernah dikirimkan oleh rekanan. Direktur dan staf CV BTL serta Wakil Direktur CV BSS mengakui bahwa mereka tidak mengirimkan barang, melainkan hanya dipakai secara administratif untuk proses belanja.
Baca juga : SPPI Batch 3 di Lampung Barat: Dandim 0422 Dorong Generasi Muda Jadi Agen Ketahanan Pangan Nasional
Pengakuan ini diperkuat oleh keterangan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) di Bappeda dan Dinas PPKB yang menyatakan bahwa belanja sesungguhnya dilakukan di luar e-katalog, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar Rp224.111.178.
Temuan BPK ini memperkuat dugaan adanya praktik mark up dan gratifikasi. Dari perspektif hukum, dugaan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, praktik pengadaan fiktif atau manipulatif bertentangan dengan prinsip good governance yang mengedepankan akuntabilitas dan transparansi.
Menurut pakar administrasi publik, kasus seperti ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Jika tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, kasus semacam ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam pengelolaan dana publik di tingkat daerah.
Korupsi dikenal sebagai extraordinary crime karena dampaknya yang merusak tatanan ekonomi, menggerus kepercayaan publik, serta menghambat pembangunan daerah. Dugaan penyimpangan di Lampung Tengah menegaskan bahwa praktik-praktik manipulatif dalam belanja publik harus segera ditangani secara hukum, tidak hanya melalui rekomendasi audit, tetapi juga dengan langkah penindakan yang tegas.
GN-PK menutup pernyataannya dengan menegaskan komitmen untuk mengawal temuan ini hingga tuntas.
“Budaya korupsi adalah penyakit yang harus diberantas. Kami tidak akan berhenti untuk menuntut keadilan dan memastikan bahwa aparat penegak hukum menindaklanjuti dugaan ini,” pungkas Dedi.
Pewarta : Hatami
