
RI News Portal. Mazraa, Suriah — Situasi di provinsi Sweida, Suriah selatan, kembali menegaskan rapuhnya transisi pascaperang di negara tersebut. Setelah sepekan bentrokan sengit antara milisi komunitas minoritas Druze dan klan Badui Muslim Sunni, kelompok Badui pada Minggu (14/7) mengumumkan penarikan diri dari kota Sweida. Penarikan ini terjadi menyusul gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat dan masuknya konvoi bantuan kemanusiaan ke wilayah yang rusak parah akibat pertempuran.
Konflik sektarian ini menewaskan ratusan orang, memicu gelombang pengungsian lebih dari 128 ribu jiwa, dan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah melanda Suriah pascaperang saudara. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) PBB mencatat, sebanyak 43.000 orang terpaksa mengungsi hanya dalam satu hari pada Sabtu (13/7).
Pertikaian antara milisi Druze dan klan Badui dipicu oleh serangkaian penculikan balasan di sejumlah kota kecil sebelum menyebar ke pusat kota Sweida. Pasukan pemerintah Suriah sempat dikerahkan untuk meredam pertempuran, namun kemudian ditarik kembali. Presiden sementara Ahmad al-Sharaa — yang dipandang lebih bersimpati kepada kelompok Badui — mengimbau agar semua pihak mematuhi gencatan senjata.

“Kami berterima kasih atas sikap heroik kaum Badui, tetapi menuntut kepatuhan penuh pada gencatan senjata serta ketaatan terhadap perintah negara,” ujar Al-Sharaa dalam pidato kenegaraannya.
Israel turut memperburuk eskalasi konflik dengan meluncurkan puluhan serangan udara di provinsi Sweida, menargetkan posisi pasukan pemerintah yang dinilai berpihak pada kelompok Badui. Serangan ini semakin meningkatkan ketegangan di wilayah selatan Suriah, yang menjadi titik rawan geopolitik antara rezim Damaskus, kelompok oposisi, dan kekuatan eksternal.
Bentrokan berdampak serius terhadap kehidupan warga sipil. Puluhan warga Druze tewas dalam serangan terarah yang dilakukan kelompok Badui dan pasukan pemerintah. Video di media sosial memperlihatkan aksi penghinaan terhadap simbol budaya Druze, termasuk perusakan potret tokoh agama dan tradisi, yang memicu serangan balasan ke wilayah mayoritas Badui di pinggiran provinsi Sweida.
Baca juga : Rusia Terbuka untuk Perdamaian dengan Ukraina, namun Prioritaskan Pencapaian Tujuan Strategis
Bulan Sabit Merah Suriah melaporkan pengiriman 32 truk bantuan berisi makanan, obat-obatan, air, dan bahan bakar. Namun, distribusi bantuan terkendala oleh gesekan politik. Sheikh Hikmat al-Hijri, tokoh spiritual Druze, dituding menghalangi delegasi pemerintah yang mendampingi konvoi bantuan. Al-Hijri membantah tuduhan ini, menegaskan bahwa pihaknya “tidak memiliki konflik berbasis agama atau etnis” dan mengutuk upaya provokasi yang memecah belah masyarakat.
Krisis Sweida memperlihatkan kompleksitas transisi politik Suriah pasca kejatuhan rezim Assad. Meskipun sebagian besar komunitas Druze mendukung berakhirnya kekuasaan keluarga Assad, banyak yang menaruh curiga terhadap pemerintahan baru Al-Sharaa yang dinilai berhaluan Islamis. Konfrontasi antara al-Hijri dengan Al-Sharaa menunjukkan ketegangan antara strategi diplomasi dan perlawanan bersenjata di kalangan Druze.
Washington melalui utusan khususnya, Tom Barrack, menilai konflik ini sebagai hambatan serius bagi stabilisasi politik Suriah. “Semua faksi harus segera meletakkan senjata, menghentikan permusuhan, dan mengakhiri siklus dendam kesukuan. Suriah berada di persimpangan kritis — perdamaian dan dialog harus segera diwujudkan,” tegasnya di platform X.

Lebih dari setengah dari sekitar 1 juta penganut Druze dunia bermukim di Suriah, sementara lainnya berada di Lebanon dan Israel, termasuk di Dataran Tinggi Golan. Ketegangan di Sweida dikhawatirkan akan memicu ketidakstabilan di kawasan yang telah lama menjadi arena konflik geopolitik antara Suriah, Israel, dan kekuatan global.
Dengan kondisi kemanusiaan yang memburuk, keberhasilan gencatan senjata dan distribusi bantuan kemanusiaan akan menjadi ujian bagi legitimasi pemerintah sementara Suriah. Konflik Druze–Badui juga menunjukkan bahwa rekonsiliasi nasional membutuhkan pendekatan multi-dimensi yang mencakup rekonstruksi sosial, jaminan keamanan, dan peran aktif komunitas internasional dalam mediasi perdamaian.
Pewarta : Setiawan S.TH
