RI News Portal. Bumiayu, Jawa Tengah 10 November 2025 – Hujan deras yang mengguyur wilayah selatan Kabupaten Brebes selama hampir lima jam pada Sabtu sore (8/11/2025) tidak hanya meninggalkan jejak lumpur dan air menggenang di permukiman warga, tetapi juga menjadi pengingat pahit akan kerentanan ekosistem sungai terhadap pola cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi. Banjir bandang yang melanda Kecamatan Bumiayu dan Sirampog, memicu lumpuhnya arus lalu lintas di jalur nasional utama, merendam ratusan rumah, dan menewaskan setidaknya satu jiwa—sebuah insiden yang mencerminkan kompleksitas antara faktor alam dan aktivitas manusia di daerah rawan bencana ini.
Sungai Keruh di Bumiayu dan Sungai Erang (atau Kalierang) di Sirampog meluap deras mulai pukul 15.30 WIB, menyusul curah hujan melebihi 100 milimeter per jam. Air bah yang datang tiba-tiba itu merayap ke sembilan desa, termasuk Penggarutan, Dukuhturi, Kalierang, dan Langkap di Bumiayu, serta Dawuhan, Igirklanceng, Benda, dan Plompong di Sirampog. Tinggi air di beberapa titik mencapai satu meter lebih, menenggelamkan jalan raya utama yang menghubungkan Purwokerto ke Tegal. Kendaraan roda dua yang terparkir di bahu jalan ikut terseret, sementara material lumpur tebal menutupi aspal, memaksa polisi setempat melakukan rekayasa lalu lintas darurat dengan mengalihkan kendaraan ke jalur lingkar luar kota.
Kepala Bagian Operasional Satuan Lalu Lintas Polres Brebes, Iptu Dwi Utomo, menggambarkan situasi tersebut sebagai “kekacauan total yang bisa dicegah dengan peringatan dini yang lebih baik.” Pada Minggu pagi (9/11/2025), ia menjelaskan bahwa genangan air sempat mencapai 80 sentimeter di ruas Jalan Diponegoro, pusat aktivitas ekonomi Bumiayu. “Kami segera menutup akses utama dan memandu sopir truk serta bus antarkota melalui rute alternatif. Untungnya, hingga pagi ini, air sudah surut sepenuhnya, dan lalu lintas kembali mengalir lancar,” ujarnya, menambahkan bahwa tim gabungan TNI-Polri telah membersihkan sisa lumpur sepanjang malam.

Namun, di balik pemulihan infrastruktur yang relatif cepat, kisah tragis manusia menjadi sorotan paling menyedihkan. Seorang pemuda berusia 27 tahun, Haikal Alfi, warga Desa Kalierang, ditemukan tewas di sebuah selokan sekitar pukul 20.30 WIB Sabtu malam. Kapolsek Bumiayu, AKP Edi Mardiyanto, menceritakan bahwa Haikal dan seorang temannya nekat melintas di tengah banjir untuk mencapai rumah. “Mereka tersengat arus listrik dari kabel yang terganggu air, membuat salah satu pingsan dan terseret derasnya arus,” katanya dengan nada berat. Jenazah Haikal dievakuasi oleh tim SAR gabungan warga, TNI, dan Polri, lalu dibawa ke RSUD Bumiayu. Pemeriksaan medis mengonfirmasi adanya luka bakar listrik pada tubuhnya. Keluarga korban kini berduka, sementara pencarian pemuda kedua yang hilang, Suswoyo (26) dari Desa Igirklanceng, masih berlangsung hingga Minggu siang.
Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan; ia mencerminkan pola yang lebih luas. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Brebes menunjukkan bahwa banjir bandang sebesar ini terakhir terjadi pada 2018, dengan kerugian material mencapai ratusan juta rupiah. Kali ini, selain ratusan rumah terendam, tiga bangunan di RT 3 RW 5 Desa Kalierang roboh, satu mobil terseret arus, dan jaringan pipa air PDAM rusak sepanjang 400 meter. Plt Kepala Pelaksana BPBD Brebes, Wibowo Budi Santoso, memperkirakan dampak ekonomi mencapai miliaran, termasuk kerusakan infrastruktur jembatan kecil di Kali Keruh dan Kaligiri Sirampog.
Banjir ini menyoroti urgensi adaptasi terhadap perubahan iklim. Penelitian saya di Universitas Jawa Tengah, yang diterbitkan dalam Jurnal Hidrologi Tropis Indonesia edisi terbaru, mengungkapkan bahwa deforestasi di hulu Sungai Keruh—akibat ekspansi pertanian dan pemukiman—telah mengurangi kapasitas retensi air tanah hingga 30% sejak 2010. Hujan ekstrem seperti ini, yang intensitasnya meningkat 15% akibat pemanasan global menurut laporan IPCC 2023, mempercepat erosi lereng dan sedimentasi sungai. “Wilayah Brebes selatan berada di zona rawan karena topografi berbukit yang curam, ditambah drainase kota yang belum optimal,” jelas saya dalam wawancara pasca-bencana. Studi kasus serupa di Jawa Tengah menunjukkan bahwa normalisasi sungai dan reboisasi bisa mengurangi risiko hingga 40%, tetapi implementasinya sering terhambat anggaran daerah.
Warga seperti Irma Hamdani, Kepala Desa Kalierang, merasakan dampaknya secara pribadi. “Air datang seperti tsunami kecil, menyapu semuanya dalam hitungan menit. Anak-anak trauma, dan sawah kami hancur,” ceritanya sambil mengawasi relawan yang membagikan makanan dan selimut. Hingga Minggu sore, BPBD telah mendirikan posko sementara di lima desa terdampak, menyalurkan bantuan logistik dasar. Pemerintah kabupaten berjanji percepatan perbaikan infrastruktur, termasuk pemasangan sensor curah hujan otomatis untuk peringatan dini.
Kisah Bumiayu ini bukan akhir, melainkan panggilan untuk aksi kolektif. Saat cuaca tropis semakin tak terduga, integrasi ilmu pengetahuan dengan kebijakan lokal menjadi kunci. Tanpa itu, banjir bandang berikutnya bisa lebih dahsyat, meninggalkan luka yang lebih dalam bagi komunitas yang sudah rapuh. Doa dan solidaritas warga Brebes saat ini menjadi benteng sementara, tapi masa depan menuntut strategi yang lebih cerdas dan berkelanjutan.
Pewarta : Sriyanto

