RI News Portal. Sumbusalam 12 November 2025 – Belakangan ini, berbagai peristiwa yang menimpa wartawan di negeri ini semakin sering terdengar dan terlihat, baik secara langsung maupun melalui cuplikan berita. Saya pribadi merasa sangat prihatin dengan nasib para jurnalis (wartawan). Di satu sisi, tugas utama mereka hanyalah mencari berita dan mengungkap kebenaran dari sebuah peristiwa, dengan mengandalkan narasumber yang dapat dipercaya. Kita semua tahu bahwa hal ini dilindungi oleh undang-undang. Namun, meskipun demikian, masih banyak pihak yang berusaha mengekang, menzalimi, menghalangi, bahkan mengancam dan mengusir wartawan, seolah-olah mereka adalah musuh yang ingin menang sendiri, tanpa takut akan ancaman undang-undang.
Sesuai Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, barang siapa dengan sengaja melarang atau menghalangi tugas peliputan wartawan dapat diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000. Ketentuan ini sudah jelas diamanatkan dalam undang-undang. Akan tetapi, penerapan sanksi terkait hal ini masih jauh dari harapan; belum pernah ada penuntutan yang benar-benar dilakukan. Apakah karena wartawan enggan mengadukan secara hukum? Ataukah ada persoalan lain di baliknya?
Sebenarnya, “wartawan” adalah pejuang yang memiliki banyak warta (berita), sedangkan “hartawan” adalah orang yang memiliki banyak harta. Menyimak perbedaan dua sisi bahasa ini, kita harus memilih: apakah menjadi wartawan atau hartawan? Jika kita memilih menjadi wartawan, tentu harus memiliki banyak warta atau berita. Oleh karena itu, marilah kita sama-sama belajar untuk menjadi wartawan yang profesional. Belajar dan terus belajar, yang artinya mengubah sifat diri sendiri. Jadilah wartawan yang pemberani, kritis, dan mampu menyatakan bahwa yang salah memang salah, serta yang benar memang benar. Jika sudah demikian, maka jadilah wartawan sebagai pejuang kebenaran, pejuang demokrasi, serta wartawan yang kritis, bukan sekadar seremonial yang selalu merengek dan mengharapkan sesuatu. Mari hindari sifat wartawan yang manja, yaitu merengek tapi ada maunya.

Akhir-akhir ini, banyak sekali peristiwa yang mendiskriminasi para wartawan, seperti di Sulawesi, Jawa Timur, Kalimantan, Sumatera Selatan, Jawa Barat, bahkan hingga Aceh, dan mungkin juga di daerah kita. Sering kali terjadi intimidasi, bahkan ada yang sampai mengusir wartawan saat sedang meliput, tanpa sedikit pun menghargai tugas mereka.
Saat menjalankan fungsinya di lapangan, wartawan sering berbenturan dengan situasi yang tidak menyenangkan dan berbagai kendala. Apalagi bagi wartawan yang kritis dan selalu berbicara berdasarkan fakta, banyak pihak yang tidak senang. Akibatnya, para jurnalis sering diancam, diteror. Namun demikian, sebagai wartawan, kita jangan takut. Tugas kita hanyalah menulis fakta dan realita, mencari berita yang akurat, tanpa berandai-andai. Jika prinsip ini dijalankan, pasti wartawan akan disegani dan dihargai karena selalu menyajikan berita yang benar dan sesuai fakta.
Biarlah para pengguna anggaran tidak membutuhkan wartawan atau media. Akan tetapi, kita tetap membutuhkan berita, serta menulis fakta dan realita. Pasti suatu saat, wartawan akan sangat dibutuhkan oleh mereka itu.
Karena wartawan telah menunjukkan sikap dan karakter yang benar, muncullah ungkapan dari Napoleon Bonaparte yang berkata, “Saya lebih takut melihat sebuah pena daripada seribu pedang.” Di era digitalisasi saat ini, dengan ujung jari, para wartawan dapat mengguncang dunia, sekaligus membawa diri sendiri ke ranah hukum jika ceroboh. Maka, marilah menulis dan bekerja sesuai fakta; jadilah wartawan investigasi.
Wahai para rekan wartawan, mari kembali ke habitat kita yang sebenarnya. Wahai para pejuang kebenaran, pejuang keadilan, pejuang demokrasi—di tanganmu ada pilar keempat dalam demokrasi negeri ini. Mari kita bersatu, bergandeng tangan, tunjukkan kekuatan tulisanmu, tajamnya jarimu untuk mendalami dunia ini.
Di sisi lain, awasi jarimu; jangan sembarang mengetik. Jika kita asal mengetik tanpa penelusuran yang pasti, hati-hati dengan tindakan hukum.
Pewarta : Jaulim Saran

