
RI News Portal. Kuta, 28 Juli 2025 — Dalam rangka memperkuat tata kelola industri perantara perdagangan properti di Indonesia, Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Penegasan ini disampaikan Ketua Umum AREBI, Clement Francis, dalam acara Sosialisasi, Edukasi, dan Tertib Regulasi yang digelar di Bali Dynasti Resort, Senin (28/7/2025).
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi Dewan Pengurus Pusat (DPP) AREBI dan DPD AREBI Bali, serta menghadirkan narasumber dari Kementerian Perdagangan RI, seperti Iqbal S. Shofwan (Dirjen Perdagangan Dalam Negeri), Mario Josko (Direktur Tertib Niaga), dan Ronald Jenri Silalahi (Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa).

Dalam paparannya, Clement Francis menekankan bahwa kepatuhan terhadap regulasi bukan hanya soal menghindari sanksi hukum, tetapi juga menjadi fondasi bagi terciptanya lingkungan bisnis yang sehat, adil, dan dipercaya oleh konsumen. Ia menggarisbawahi pentingnya penguatan kapasitas kelembagaan dan individu broker properti untuk menjawab tantangan sektor ini yang semakin kompleks dan berisiko.
“AREBI menyambut baik terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 sebagai revisi atas PP Nomor 5 Tahun 2021. Perubahan klasifikasi risiko usaha KBLI 68200 dari rendah menjadi menengah-tinggi merupakan sinyal bahwa industri ini membutuhkan pengawasan dan profesionalisme lebih tinggi,” jelas Clement.
Selain itu, Clement juga menginformasikan bahwa revisi terhadap Permendag No. 51 Tahun 2017 tengah dilakukan harmonisasi agar lebih adaptif terhadap dinamika pasar properti nasional dan global.
Baca juga : Pemkab Gresik Luncurkan Manajemen Talenta ASN 2025: Membangun Birokrasi Berbasis Sistem Merit dan Kompetensi
Sementara itu, Iqbal S. Shofwan dari Kementerian Perdagangan RI menambahkan bahwa perubahan kategori risiko usaha KBLI 68200 memiliki implikasi serius. Para pelaku usaha kini wajib memenuhi syarat tambahan, antara lain kepemilikan Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Standar, serta tenaga ahli bersertifikasi dalam bidang properti dan investasi.
“Kami ingin menciptakan ekosistem jasa broker properti yang lebih profesional dan bertanggung jawab. Kewajiban memiliki tenaga ahli dan dokumentasi yang valid adalah langkah penting ke arah itu,” ujar Iqbal.
Mario Josko menyoroti hasil pengawasan terhadap 216 pelaku usaha broker properti dalam kurun waktu 2021–2024. Temuan menunjukkan bahwa 74% pelaku usaha belum memenuhi regulasi, termasuk tidak memiliki tenaga ahli bersertifikasi, tidak membuat laporan tahunan, serta tidak memiliki izin usaha yang sesuai dengan KBLI 68200.
“Pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban regulatif dapat dikenai sanksi administratif, termasuk teguran, pembekuan usaha, hingga pencabutan izin,” tegas Mario.
Lebih jauh, Mario memaparkan bahwa pelaku usaha wajib memiliki perjanjian tertulis dengan klien, menggunakan sistem pembayaran resmi, mencantumkan identitas usaha dalam publikasi, hingga melaporkan kegiatan usaha secara berkala kepada Kementerian.
Ronald Jenri Silalahi menekankan bahwa pelanggaran regulasi tidak hanya merugikan pelaku usaha secara hukum, tetapi juga berdampak luas pada masyarakat, pemerintah, dan konsumen.
“Broker ilegal mendorong harga lahan yang tidak wajar, berisiko menghilangkan tanah adat, mengurangi potensi penerimaan negara, dan merusak tatanan tata ruang dan lingkungan,” katanya.
Ronald menyebutkan bahwa pengawasan di sejumlah kota seperti Bandung, Jakarta, dan Bali menemukan pelanggaran yang berkaitan dengan proses bisnis, promosi, serta penggunaan klausula kontrak. Ia mengingatkan bahwa pelanggaran bisa dikenakan pidana hingga lima tahun atau denda Rp 2 miliar sesuai Permendag No. 69 Tahun 2018.
Sebagai penutup, Ronald mengimbau masyarakat agar berhati-hati dalam memilih broker properti. Ia menekankan pentingnya verifikasi izin resmi, reputasi, serta kejelasan kontrak sebelum melakukan transaksi.
“Lindungi Bali dari praktik ilegal. Dukung pertumbuhan properti yang sehat, adil, dan sesuai hukum. Gunakan broker resmi dan bersertifikat,” pungkasnya.
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya kolektif pemerintah dan asosiasi dalam membangun sistem pasar properti yang lebih transparan dan akuntabel, seiring meningkatnya kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional.
Pemberlakuan regulasi baru dalam sektor broker properti mencerminkan upaya negara dalam memperkuat perlindungan konsumen, memperbaiki iklim investasi, serta memastikan bahwa pelaku usaha beroperasi secara profesional dan bertanggung jawab. Pemangku kepentingan—baik pemerintah, asosiasi, maupun konsumen—perlu terus bersinergi untuk mendorong tata kelola industri properti yang berkelanjutan dan inklusif.
Pewarta : Jhon Sinaga
