RI News Portal. Washington, 9 Desember 2025 – Dalam langkah yang semakin mempertajam ketegangan bilateral, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan ultimatum tegas terhadap Meksiko terkait pelanggaran Perjanjian Air 1944. Ancaman pemberlakuan tarif tambahan sebesar 5 persen pada impor Meksiko datang sebagai respons atas kegagalan negara tetangga itu memenuhi kewajiban pasokan air ke wilayah perbatasan Texas, yang kini mengancam kehancuran sektor pertanian di negara bagian tersebut. Pernyataan Trump, yang disampaikan melalui saluran komunikasi pribadinya pada Senin malam (8/12), menegaskan bahwa ketidakpatuhan Meksiko telah menyebabkan kerugian miliaran dolar bagi petani AS, sekaligus menimbulkan risiko ketidakstabilan pangan regional di tengah perubahan iklim yang memburuk.
Perjanjian Air 1944, yang secara formal dikenal sebagai “Utilization of Waters of the Colorado and Tijuana Rivers and of the Rio Grande”, merupakan fondasi kerjasama hidrologi antara kedua negara sejak era Perang Dunia II. Dokumen ini mewajibkan Meksiko untuk menyediakan rata-rata 350.000 acre-feet air per tahun—setara dengan 431 juta meter kubik—dari Sungai Rio Grande dan anak sungainya, diukur dalam siklus lima tahunan yang totalnya mencapai 1,75 juta acre-feet. Sebaliknya, AS berkomitmen untuk mengalokasikan 1,5 juta acre-feet air dari Sungai Colorado setiap tahun ke Meksiko. Namun, siklus 2020-2025 yang baru saja berakhir pada Oktober lalu mencatat defisit mencapai sekitar 800.000 acre-feet dari kewajiban Meksiko, akumulasi dari kekeringan berkepanjangan dan prioritas domestik yang semakin menekan sumber daya air di wilayah utara Meksiko.

Trump, dalam pesannya, menyoroti dampak langsung dari kekurangan ini terhadap “tanaman dan ternak indah Texas” yang menjadi tulang punggung ekonomi perbatasan. “Meksiko terus melanggar perjanjian air komprehensif kita, dan pelanggaran ini sangat merugikan tanaman dan ternak Texas yang menjadi andalan kami,” tulisnya, menambahkan bahwa negara itu masih berutang lebih dari 800.000 acre-feet akibat ketidakpatuhan selama lima tahun terakhir. Ia menuntut pelepasan segera 200.000 acre-feet air sebelum 31 Desember, dengan sisanya menyusul tak lama kemudian. “Semakin lama Meksiko menunda pelepasan air, semakin besar kerugian yang dialami petani kami,” tegas Trump, yang telah mengotorisasi dokumen eksekutif untuk menerapkan tarif tersebut jika tuntutan tidak dipenuhi.
Latar belakang krisis ini bukanlah hal baru. Sejak 1994, Meksiko telah gagal memenuhi target siklus penuh setidaknya enam kali, sering kali dikaitkan dengan kondisi kekeringan ekstrem di Lembah Rio Grande yang melintasi Chihuahua dan Coahuila. Data dari International Boundary and Water Commission (IBWC), badan bilateral yang mengawasi implementasi perjanjian, menunjukkan bahwa pengiriman Meksiko pada siklus terbaru hanya mencapai sekitar 42 persen dari target, atau 730.000 acre-feet. Faktor-faktor seperti urbanisasi pesat di perbatasan Meksiko—termasuk kebutuhan irigasi untuk industri pecan dan peternakan sapi yang berkembang—telah memperburuk situasi, sementara pola cuaca El Niño yang tidak menentu semakin mengurangi aliran sungai alami. Di sisi AS, petani Texas di Lembah Rio Grande, yang bergantung pada air ini untuk menanam kapas, jeruk, dan sayuran, melaporkan penurunan hasil panen hingga 40 persen tahun ini, dengan kerugian ekonomi mencapai ratusan juta dolar.
Baca juga : Perempuan sebagai Garda Terdepan Integritas Bangsa: Ajakan Puan Maharani di Hari Anti-Korupsi Sedunia 2025
Gubernur Texas Greg Abbott, yang telah lama menjadi vokal dalam isu ini, menyebut pelanggaran Meksiko sebagai “pencurian air yang disengaja” yang mengancam keberlanjutan pertanian negara bagiannya. Dalam pernyataan terbarunya, Abbott menekankan bahwa defisit ini setara dengan dua setengah tahun pengiriman minimum, dan mendesak Kongres untuk mendukung RUU Ensuring Predictable and Reliable Water Deliveries Act 2025, yang diusulkan oleh Senator Ted Cruz dan John Cornyn. Undang-undang ini bertujuan untuk memaksa akuntabilitas melalui pemotongan bantuan luar negeri AS ke Meksiko jika kewajiban tidak dipenuhi. Sementara itu, Menteri Pertanian AS Brooke Rollins, dalam pertemuan dengan petani Texas baru-baru ini, mengumumkan paket bantuan federal senilai 12 miliar dolar untuk mengatasi dampak perang dagang dan krisis air, meskipun dana ini dianggap sebagai solusi jangka pendek.
Dari perspektif internasional, ancaman tarif Trump menimbulkan kekhawatiran lebih luas tentang eskalasi konflik transperbatasan. Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum, yang baru saja bertemu Trump di acara undian Piala Dunia pada Jumat lalu, membantah tuduhan pelanggaran, dengan menyatakan bahwa negara itu telah memasok air “sejauh yang memungkinkan” di tengah tiga tahun kekeringan berturut-turut. “Kami menghadapi krisis air domestik yang parah, dan perjanjian memungkinkan penyesuaian untuk kondisi luar biasa,” katanya dalam konferensi pers. Namun, para ahli hukum internasional seperti María del Socorro Marquina Sánchez dari Fakultas Hukum Universitas Nasional Otonom Meksiko (UNAM) memperingatkan bahwa klausul “kekeringan luar biasa” dalam Pasal 24(d) perjanjian belum pernah diuji secara formal, dan ketidakpatuhan berulang bisa memicu arbitrase di Mahkamah Internasional. Sánchez menambahkan bahwa prioritas Meksiko untuk kebutuhan lokal, termasuk pasokan air ke Tijuana melalui saluran khusus yang baru-baru ini ditolak AS, mencerminkan ketidakseimbangan struktural dalam perjanjian yang dirancang 81 tahun lalu.

Secara ekonomi, penerapan tarif 5 persen berpotensi mengganggu rantai pasok utara-selatan, di mana Meksiko adalah mitra dagang terbesar ketiga AS dengan nilai ekspor mencapai 500 miliar dolar per tahun. Analis dari Bloomberg memperkirakan bahwa langkah ini bisa menaikkan harga barang impor seperti otomotif dan produk pertanian, sambil memperburuk inflasi di AS. Namun, Trump membingkainya sebagai perlindungan “America First” terhadap kepentingan petani, yang menjadi basis pendukung intinya di Texas. Hingga kini, Meksiko belum memberikan respons resmi terhadap ultimatum tersebut, meskipun sumber diplomatik menyebutkan bahwa negosiasi darurat sedang direncanakan melalui IBWC.
Krisis ini juga menyoroti kerentanan sumber daya air transnasional di era perubahan iklim. Sungai Rio Grande, yang membentang 3.000 kilometer dan menjadi urat nadi bagi 10 juta penduduk di kedua sisi perbatasan, telah menyusut hingga 70 persen dari level normalnya sejak 2020. Studi dari Kongres AS pada 119th Congress menekankan perlunya mekanisme pengiriman air yang lebih prediktif, termasuk pemantauan real-time dan klausul adaptasi iklim, untuk menghindari eskalasi serupa di masa depan. Tanpa resolusi cepat, ancaman Trump bukan hanya soal air, melainkan ujian bagi stabilitas hubungan bilateral yang telah tegang akibat isu migrasi dan narkoba.

Para petani Texas, seperti Byer Junfin dari Quemado, menggambarkan situasi sebagai “bencana lambat” yang menggerus mata pencaharian mereka. “Air ini bukan sekadar irigasi; ini tentang kelangsungan hidup komunitas kami,” katanya. Saat matahari terbenam di perbatasan yang kering kerontang, pertanyaan mendasar muncul: apakah perjanjian abad pertengahan bisa bertahan di dunia yang berubah, atau akankah ultimatum seperti milik Trump menjadi norma baru dalam diplomasi air? Hanya waktu—dan mungkin hujan—yang akan menjawab.
Pewarta : Setiawan Wibisono

