RI News Portal. Subulussalam, 5 Desember 2025 – Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) yang berlangsung lebih dari dua pekan di Kota Subulussalam, Aceh, kini memasuki fase krisis sistemik. Dampaknya tidak lagi terbatas pada antrean panjang di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), melainkan telah merembet ke sektor riil: kenaikan harga dan kelangkaan sembilan bahan pokok pangan serta lumpuhnya mobilitas angkutan komoditas perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Pantauan di pasar tradisional Kota Subulussalam menunjukkan harga cabai merah lokal yang semula Rp45.000–Rp50.000 per kilogram kini melonjak hingga Rp120.000–Rp140.000 per kilogram. Tomat besar naik dari Rp8.000 menjadi Rp18.000–Rp22.000 per kilogram, sementara sayuran hijau seperti kangkung dan bayam mengalami kenaikan 150–200 persen. Beberapa pedagang mengaku hanya mampu membawa setengah dari volume biasanya karena truk pengangkut dari kabupaten tetangga seperti Aceh Singkil dan Aceh Selatan terhambat kekosongan solar.
“Kami tidak bisa berbohong, stok tinggal sedikit dan harga sudah tidak karuan. Truk dari luar kota tidak masuk karena tidak ada solar. Kalau seperti ini terus, minggu depan bisa lebih parah,” ujar salah seorang pedagang besar di Pasar Inpres Subulussalam, Kamis (4/12/2025).

Di sektor perkebunan, dampak krisis BBM terlihat lebih sistematis. Sejumlah Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) di wilayah Subulussalam dan sekitarnya mengalami penurunan drastis pasokan tandan buah segar (TBS). PT Bangun Sempurna Lestari (BSL), salah satu PMKS terbesar di kawasan itu, pada Kamis (4/12/2025) hanya menerima kurang dari 20 persen kapasitas normal. Halaman pabrik yang biasanya dipenuhi truk pengangkut TBS tampak lengang.
“Kami tidak bisa memaksa petani mengirim buah kalau armada tidak bisa jalan. Kendala utama memang solar. Truk tangki kami sendiri kesulitan isi bahan bakar di SPBU, apalagi truk kontraktor petani,” ungkap Burhan, Humas PT BSL, saat ditemui di lokasi pabrik.
Burhan menambahkan, meskipun harga pembelian TBS di tingkat pabrik masih bertahan di kisaran Rp2.800 per kilogram, volume produksi minyak sawit mentah (CPO) perusahaan turun hingga 70–80 persen dari kapasitas normal. “Kalau kondisi ini berlarut hingga akhir Desember, kerugian tidak hanya dialami pabrik, tapi juga ribuan petani plasma dan mandiri yang bergantung pada pembayaran mingguan,” katanya.
Krisis BBM di Subulussalam sendiri dipicu kombinasi faktor: kuota solar dan pertalite yang tidak mencukupi kebutuhan riil kota yang menjadi jalur transit penting menuju Aceh Tenggara dan Pakpak Bharat, ditambah distribusi dari depot Pertamina di Krueng Geukuh, Aceh Utara, yang terhambat cuaca buruk dan keterbatasan armada tangki.
Masyarakat dan pelaku usaha kini menaruh harapan besar kepada Pemerintah Kota Subulussalam. Dalam beberapa kesempatan, warga secara terbuka meminta agar pemkot segera berkoordinasi intensif dengan Pertamina Wilayah Aceh dan pemerintah provinsi untuk menambah kuota BBM minimal lima kali lipat dari alokasi saat ini, serta membuka jalur distribusi khusus agar antrean panjang di SPBU dapat ditekan.
“Subulussalam bukan kota kecil lagi. Mobilitas ekonomi kami sangat tinggi, terutama karena sawit dan perdagangan antarwilayah. Kalau BBM tidak segera ditambah, bukan hanya harga beras dan cabai yang naik, tapi roda ekonomi kota ini bisa berhenti total,” ujar Amiruddin, tokoh masyarakat Kecamatan Simpang Kiri.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons resmi dari Pemerintah Kota Subulussalam terkait permintaan penambahan kuota BBM tersebut. Krisis bahan bakar yang awalnya dianggap sementara kini telah bertransformasi menjadi ancaman serius terhadap ketahanan pangan lokal dan stabilitas pendapatan ribuan keluarga petani sawit.
Pewarta: Jaulim Saran

