RI News Portal. Ngawi – Di tengah hiruk-pikuk pembelajaran daring dan buku teks yang kian dominan, Sekolah Harapan Umat (Harum) di Jl. Karya Ngawi memilih jalur yang berbeda: mengubah halaman sekolah menjadi “kebun binatang mini” selama sehari penuh. Bertajuk Mini Zoo Harum 2025, kegiatan yang digelar pekan lalu ini secara khusus menyasar anak-anak TK dan PAUD—usia ketika rasa ingin tahu mereka sedang berada di puncak tertinggi.
Berbeda dengan kunjungan kebun binatang konvensional yang bersifat pasif, konsep Mini Zoo Harum justru mengajak anak membawa hewan peliharaan sendiri dari rumah. Hasilnya, halaman sekolah dipenuhi kucing Persia yang manja, kelinci Belanda berbulu lebat, hamster yang berlarian di roda putar, burung lovebird yang bernyanyi ramai, hingga akuarium kecil berisi ikan cupang warna-warni. “Anak-anak jadi belajar tanggung jawab sekaligus berani berbagi,” kata salah satu guru pendamping.
Yang membuat acara ini semakin istimewa adalah kehadiran Komunitas Pecinta Reptil Ngawi. Untuk pertama kalinya di lingkungan PAUD/TK setempat, anak-anak diperkenalkan langsung—dengan pengawasan ketat—kepada iguana hijau yang tenang, kura-kura sulcata berukuran besar, dan beberapa spesies ular jinak. Para anggota komunitas, yang sudah terlatih menangani reptil selama bertahun-tahun, memberikan demonstrasi cara memegang yang aman sekaligus menjelaskan mitos-mitos yang sering membuat reptil ditakuti masyarakat.

“Kami sengaja pilih reptil yang sudah terbiasa berinteraksi dengan manusia,” ujar Koordinator Komunitas Pecinta Reptil Ngawi, Rizal Aditya. “Tujuannya bukan hanya edukasi, tapi juga mengurangi stigma bahwa semua reptil berbahaya. Anak-anak justru pulang dengan pemahaman baru bahwa setiap makhluk punya peran di alam.”
Kepala Sekolah Harapan Umat, Ibu Siti Nurhayati, S.Pd., menegaskan bahwa kegiatan ini selaras dengan periode emas (golden age) perkembangan anak usia 0–6 tahun. “Stimulasi sensorik melalui sentuhan langsung, pengamatan, dan interaksi dengan hewan terbukti meningkatkan perkembangan kognitif, bahasa, serta kemampuan sosial-emosional,” ungkapnya. Ia merujuk pada berbagai kajian neurosains yang menunjukkan pengalaman nyata (experiential learning) jauh lebih efektif ketimbang pembelajaran dua dimensi.
Antusiasme anak-anak terlihat nyata. Beberapa di antaranya yang awalnya takut mendekat, perlahan berani mengelus punggung iguana atau memberi makan wortel pada kelinci. Orang tua yang mendampingi juga mengaku terkesan. “Biasanya anak saya takut reptil gara-gara film. Setelah hari ini, dia malah minta buku tentang kura-kura,” cerita salah seorang ibu.
Baca juga : Polres Kebumen Tingkatkan Pengawasan Malam Hari di Jalur Rawan Kemacetan
Melihat respons yang sangat positif, pihak sekolah berencana menjadikan Mini Zoo Harum sebagai agenda tahunan dengan tema yang berbeda setiap tahunnya—misalnya fokus pada satwa endemik Indonesia atau hewan nokturnal. “Kami ingin anak-anak tumbuh dengan pemahaman bahwa belajar itu tidak selalu di dalam kelas, tapi juga di tengah kehidupan nyata,” tutup Ibu Siti.
Kegiatan yang berlangsung dari pagi hingga menjelang siang ini berhasil menciptakan memori kolektif yang langka: tawa anak-anak bercampur suara burung, aroma rumput basah, dan keberanian kecil yang baru lahir dari setiap sentuhan pada makhluk hidup.
Pewarta: Wisnu Harmoko

