RI News Portal. Wonokerto, 27 November 2025 – Program peternakan berbasis dana desa di Desa Wonokerto Wetan, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, yang digulirkan sejak 2022 hingga 2023 dengan total penyerapan Rp180.259.300, kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Alih-alih menghasilkan peningkatan produksi ternak dan tambahan pendapatan desa, program tersebut hanya menyisakan bangunan kandang tak terpakai dan puluhan ekor kambing yang lenyap tanpa jejak memadai.
Dana tersebut dialokasikan untuk pembangunan kandang, pengadaan bibit kambing, mesin pencacah pakan, serta biaya operasional dan honor perawatan. Namun hingga pertengahan November 2025, tidak ada satu pun kambing yang tersisa, mesin pencacah pakan tidak pernah terlihat beroperasi, dan kandang yang sempat berpindah lokasi beberapa kali kini kosong.
Seorang warga yang enggan disebut namanya mengatakan, “Awalnya kami dengar ada puluhan ekor. Terakhir yang saya lihat di kandang dekat tower desa tinggal sekitar 11 ekor. Katanya ada yang mati sakit, ada yang disembelih untuk keperluan desa, ada pula yang dijual. Tapi bukti resminya tidak pernah kami lihat.”

Kepala Desa Wonokerto Wetan, Nazir Aziz, ketika dikonfirmasi pada 10 November 2025, mengakui bahwa sebanyak 50 ekor kambing memang pernah dibeli secara bertahap dengan harga rata-rata Rp1 juta per ekor. “Kandang kami bangun dengan biaya sekitar Rp50 juta. Sisanya untuk mesin pencacah, pakan, dan honor perawatan. Namun memang semua kambing sudah habis: sebagian mati karena sakit, sebagian disembelih untuk hajatan desa, dan sisanya kami jual karena sistem perawatan diubah menjadi bagi hasil,” ujarnya.
Pernyataan tersebut justru memicu pertanyaan baru. Tidak ada dokumentasi kematian ternak, tidak ada laporan hasil penjualan, dan tidak ada bukti fisik keberadaan mesin pencacah pakan yang nilainya puluhan juta rupiah. Sistem bagi hasil yang disebut-sebut juga tidak pernah disosialisasikan secara terbuka kepada masyarakat.
Pengamat kebijakan desa dari Universitas Diponegoro, Dr. Retno Sunu Astuti, menilai kasus ini mencerminkan lemahnya tata kelola program ketahanan pangan berbasis dana desa. “Ketahanan pangan memang menjadi prioritas Permendes PDTT Nomor 7 Tahun 2023, tetapi implementasinya harus memenuhi prinsip akuntabel dan partisipatif sebagaimana diamanatkan Permendagri 20/2018. Jika tidak ada bukti fisik, administrasi yang lengkap, dan manfaat yang nyata bagi warga, maka program ini secara de facto gagal dan berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara,” katanya.
Masyarakat Wonokerto Wetan kini menuntut tiga hal utama:
- Audit khusus oleh Inspektorat Kabupaten Pekalongan terhadap realisasi dana desa tahun anggaran 2022–2023 untuk program peternakan.
- Penyampaian Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) yang transparan disertai bukti fisik dan dokumen pendukung.
- Penjelasan tertulis dari kepala desa mengenai nasib hasil penjualan kambing serta pertanggungjawaban atas alat produksi yang tidak pernah terlihat.
“Kami bukan menuduh, tapi kami ingin kejelasan. Uang itu dari rakyat, untuk rakyat. Kalau hanya jadi bangunan kosong dan cerita ‘kambingnya habis’, maka kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan dana desa akan runtuh,” ujar Koordinator Forum Masyarakat Peduli Desa Wonokerto Wetan, Slamet Riyadi.
Hingga berita ini diturunkan, Bupati Pekalongan dan Inspektorat setempat belum memberikan pernyataan resmi terkait rencana audit. Kasus serupa di berbagai daerah menunjukkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat sejak tahap perencanaan, program ketahanan pangan berbasis ternak kerap berakhir pada kegagalan serupa: aset desa lenyap, laporan administrasi minim, dan manfaat ekonomi bagi warga nyaris nol.
Penulis: Nandang Bramantyo

