RI News Portal. Wonogiri, 17 November 2025 – Kunjungan mendadak Tim Persatuan Jurnalis Wonogiri (PJW) ke lokasi rehabilitasi gedung SMA Negeri 1 Purwantoro pada Senin siang mengungkap fakta mencengangkan: seluruh 11 pekerja konstruksi beroperasi tanpa satu pun alat pelindung diri (APD) standar, di tengah proyek bernilai Rp1,4 miliar yang didanai Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah untuk Tahun Anggaran 2025. Durasi kontrak 90 hari kalender ini, yang dieksekusi oleh kontraktor pelaksana CV. Laksono Setyo Mulyo, perencana CV. Kreasi Amarta, serta pengawas CV. Candi Lima, menunjukkan pengabaian mutlak terhadap prinsip keselamatan dan kesehatan kerja (K3), meski papan informasi proyek telah terpasang dan cuaca cerah tanpa gangguan hujan.
Temuan ini merupakan pelanggaran kategoris dan tidak dapat dibantah terhadap Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri. Pasal 1 ayat (1) menyatakan dengan tegas: “Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat kerja.” Ayat (2) melengkapi: “APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar yang berlaku.” Lebih lanjut, ayat berikutnya menegaskan kewajiban penyediaan “secara cuma-cuma” oleh pengusaha, tanpa pengecualian berdasarkan tingkat risiko pekerjaan.
Regulasi ini bersifat imperatif—artinya, tidak ada ruang interpretasi subyektif seperti “pekerjaan ringan” yang diklaim oleh Bandrik, perwakilan CV. Laksono Setyo Mulyo. Pernyataannya bahwa “secara kualifikasi pekerjaannya tidak berpengaruh terkait pemakaian APD dan K3 karena pekerjaannya hanya ringan” bertentangan langsung dengan doktrin hukum ketenagakerjaan Indonesia, yang tidak membedakan antara proyek berisiko tinggi atau rendah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, sebagai payung hukum, mewajibkan penerapan K3 di semua tempat kerja konstruksi tanpa terkecuali, termasuk rehabilitasi gedung pendidikan. Pengabaian ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan pelanggaran pidana potensial di bawah Pasal 190 UU Ketenagakerjaan, yang dapat dikenai sanksi denda hingga Rp500 juta atau penjara bagi pengusaha.

Dari perspektif yuridis normatif, kontraktor pelaksana sebagai pihak yang bertanggung jawab operasional memiliki kewajiban primer (primary liability) untuk memastikan kepatuhan. Pengawas CV. Candi Lima, meski belum merespons konfirmasi PJW, secara kontraktual terikat untuk melakukan inspeksi harian K3 berdasarkan Pedoman Pengawasan Proyek Konstruksi Kementerian PUPR. Ketiadaan helm, sarung tangan, dan sepatu safety pada seluruh pekerja—termasuk saat menangani material bangunan di ketinggian—mencerminkan kegagalan sistemik pengawasan, yang dapat digugat sebagai wanprestasi kontrak negara.
Siyat, S.Pd., Wakil Kepala SMA Negeri 1 Purwantoro bidang Sarana Prasarana, menegaskan bahwa “pekerjaan semua menjadi ranah kontraktor, pihak sekolah hanya menerima kunci setelah selesai. Kami tak campur tangan pengawasan harian.” Pernyataan ini sah secara kontraktual, karena dalam skema DAK, penerima manfaat (sekolah) tidak memiliki mandat pengawasan teknis. Namun, ini menyoroti celah struktural: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, sebagai pemilik anggaran, belum mengeluarkan pernyataan resmi atas temuan PJW, meski Direktur Pembinaan Sarana Prasarana telah dihubungi.
Klaim Bandrik semakin memperburuk posisi hukum kontraktor, karena regulasi K3 bersifat absolut—tidak ada dispensasi untuk “pekerjaan ringan.” Data Kementerian Ketenagakerjaan nasional mencatat 1.200 kasus pelanggaran APD sepanjang 2025, dengan mayoritas di sektor pendidikan dan konstruksi, sementara Dinas Tenaga Kerja Jawa Tengah melaporkan 150 insiden serupa pada proyek publik. Kasus paralel di Jawa Tengah, seperti revitalisasi SDN Purworejo 1 Senduro (Oktober 2025) dan SMKN 1 Tuban Barat (Agustus 2025), menunjukkan pola berulang yang mengindikasikan kegagalan kebijakan provinsial dalam enforcement.
Pelanggaran ini bukan isolasi, melainkan manifestasi dari disfungsi tata kelola proyek publik di daerah perifer seperti Wonogiri. Teori risiko sistemik (systemic risk theory) dalam manajemen konstruksi—seperti yang dikembangkan oleh Heinrich’s Domino Theory—menyatakan bahwa pengabaian APD kecil dapat memicu kecelakaan beruntun: jatuh dari ketinggian, tertimpa material, atau cedera kronis akibat paparan debu. Dalam konteks proyek DAK, ini berpotensi menunda penyelesaian 90 hari, membengkakkan biaya negara, dan merugikan hak pekerja atas kompensasi berdasarkan BPJS Ketenagakerjaan.

Analisis forensik hukum lebih lanjut mengungkap bahwa pengawas CV. Candi Lima memiliki kewajiban fidusia untuk menghentikan pekerjaan jika K3 dilanggar (stop-work authority), sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk pengawas konstruksi. Ketiadaan intervensi ini dapat dikualifikasi sebagai kelalaian berat (gross negligence), membuka pintu gugatan perdata dari pekerja atau keluarga jika kecelakaan terjadi.
Temuan PJW ini menuntut intervensi mendesak dari otoritas provinsial dan nasional untuk audit menyeluruh terhadap semua proyek DAK 2025 di Jawa Tengah. Tanpa sanksi tegas, pola pelanggaran akan perpetuasi, mengancam nyawa pekerja dan integritas anggaran publik.
Pewarta : Nandang Bramantyo

