RI News Portal. Yogyakarta, 13 November 2025 – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menekankan pentingnya membentuk mentalitas petarung bagi generasi muda Papua, alih-alih terpaku pada zona nyaman sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pernyataan ini disampaikan dalam kuliah umum di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta, Kamis lalu, di hadapan ratusan mahasiswa yang mayoritas berasal dari wilayah pedesaan dan daerah tertinggal.
Pigai, yang berlatar belakang sebagai mantan komisioner Komnas HAM, mengawali paparannya dengan refleksi pribadi atas perjalanan hidupnya dari kondisi kemiskinan dan minoritas di Papua hingga menduduki posisi menteri. “Dulu saya bayangkan, saya orang Papua yang miskin dan minoritas, tidak akan jadi penguasa, nyatanya saya bisa jadi menteri, maka berarti Indonesia itu permainan terbuka,” ungkapnya, menggambarkan Indonesia sebagai arena kompetisi yang inklusif bagi siapa saja, termasuk warga dari latar belakang sederhana.
Menurut Pigai, ruang kesempatan di tingkat nasional tidak dibatasi oleh asal-usul geografis atau sosial-ekonomi. Ia menyoroti fenomena di kalangan pemuda Papua yang sering kehilangan semangat juang setelah mencapai status PNS. “Pulang ke Papua, kamu di sini bagus, semangat, gas. Nanti di sana di awal-awal gas, begitu (menjadi) pegawai negeri sipil gasnya sudah mulai turun. Langsung PNS. Sayang,” katanya, mengilustrasikan penurunan motivasi yang kerap terjadi pasca-memasuki birokrasi.

Ia menekankan bahwa fondasi utama untuk bersaing bukan hanya pengetahuan dan keterampilan teknis, melainkan moralitas, integritas, dan ketangguhan mental. “Produk dari sini yang harus dipicu adalah mental sebagai petarung karena Indonesia itu halaman terbuka, lapangan terbuka,” tegas Pigai, mendorong mahasiswa untuk mempertahankan konsistensi dalam perjuangan.
Sebagai bukti nyata, Pigai berbagi pengalaman mengundurkan diri dari jabatan pegawai negeri di Kementerian Tenaga Kerja setelah 15 tahun masa bakti. Keputusan itu diambil karena penolakannya terhadap praktik setoran dan kompromi moral dalam birokrasi. “Saya enggak tahu cara ambil uang. Karena pemimpin minta saya uang. Kalau begini, saya akan jadi miskin. Akhirnya saya mundur,” ceritanya, menegaskan bahwa risiko tersebut justru membuka peluang lebih luas.
Baca juga : Reformasi Rujukan Kesehatan: Dari Jenjang ke Kompetensi, Langkah Efisien BPJS
Pigai meyakini bahwa sumber daya Indonesia yang melimpah menjamin tidak ada yang jatuh miskin jika berani bertarung. “Izinkan saya bertarung dulu. Indonesia itu sumber dayanya besar. Saya tidak akan pernah jatuh miskin,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa kepercayaan memimpin kementerian dengan tantangan besar datang dari konsistensi 15 tahun memperjuangkan kelompok rentan, tanpa pernah meminta jabatan atau mengajukan curriculum vitae. “Jangan minta-minta. Jadi petarung yang benar. Saya tidak pernah minta jabatan, tidak pernah ajukan CV. Saya berjuang 15 tahun, pagi, siang, sore,” tutupnya.
Pernyataan Pigai ini relevan dalam konteks pembangunan sumber daya manusia di daerah tertinggal, di mana akses terhadap birokrasi sering menjadi tujuan utama, namun berpotensi menghambat inovasi dan entrepreneurship. Kuliah umum ini menjadi bagian dari upaya STPMD APMD dalam membekali mahasiswa dengan perspektif kepemimpinan yang berorientasi pada integritas dan ketangguhan, guna mendukung pembangunan masyarakat desa yang berkelanjutan.
Pewarta : Anjar Bramantyo

