RI News Portal. Kupang, NTT 13 November 2025 – Forum Indonesia–Pacific Cultural Synergy (IPACS) 2025 yang baru saja usai di Kupang, Nusa Tenggara Timur, menegaskan bahwa budaya bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan instrumen strategis diplomasi antarbangsa di kawasan Indo-Pasifik. Acara tiga hari itu menghadirkan pertunjukan gabungan dari 12 negara Pasifik dan 10 provinsi Indonesia, menciptakan resonansi estetika yang memperkuat narasi “budaya sebagai jembatan” di tengah dinamika geopolitik regional.
Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, menegaskan bahwa IPACS 2025 merupakan manifestasi konkret dari soft power budaya. “Kita menyaksikan simfoni warisan, kerajinan, dan seni pertunjukan yang menyatukan identitas-identitas kepulauan,” ujarnya usai menyaksikan penampilan kolaboratif yang memadukan tarian adat NTT dengan ritme polinesia dan melanesia. Pernyataan ini merujuk pada penampilan nyanyian dan tarian yang melibatkan delegasi dari Fiji, Papua Nugini, hingga Vanuatu, serta provinsi-provinsi Indonesia seperti Maluku Utara dan Papua Barat—wilayah yang secara etnografis memiliki kedekatan budaya dengan Pasifik Selatan.
Analisis akademis menunjukkan bahwa pendekatan ini selaras dengan konsep cultural diplomacy ala Joseph Nye, di mana daya tarik budaya digunakan untuk membangun kepercayaan tanpa koersi militer. Dalam konteks Indo-Pasifik, di mana narasi dominasi Tiongkok versus aliansi Barat sering mendominasi, IPACS menawarkan jalur alternatif: Pacific Way yang berbasis harmoni budaya. Penampilan musik tradisional yang membuat Fadli Zon dan Gubernur NTT Melki Laka Lena ikut bergoyang, misalnya, bukan sekadar hiburan, melainkan momen embodied diplomacy yang mencairkan formalitas protokoler.

Fadli Zon menekankan pentingnya keberlanjutan kerja sama. “Budaya menumbuhkan saling pengertian dan menuntun kita menuju masa depan yang tangguh,” katanya, seraya mengapresiasi panitia yang bekerja tanpa lelah selama tiga hari. Pernyataan ini menggemakan komitmen Indonesia sebagai bridge builder di Forum Kepulauan Pasifik (PIF), di mana Jakarta telah menjadi mitra dialog sejak 2001.
Dari perspektif Fiji, Menteri Urusan iTaukei Ifereimi Vasu memberikan respons yang bernuansa hati-hati namun optimistis. Ia memuji inisiatif Indonesia, khususnya dukungan logistik Kementerian Kebudayaan RI, namun menandaskan bahwa rencana kelembagaan baru—seperti potensi sekretariat tetap IPACS—memerlukan konsultasi kabinet domestik. “Kami ingin langkah Fiji selaras dengan prioritas nasional dan kawasan,” ujarnya. Sikap ini mencerminkan dinamika sovereign agency negara-negara kecil Pasifik yang kerap waspada terhadap inisiatif eksternal, sekaligus menegaskan bahwa budaya tetap menjadi safe space untuk dialog.
Secara struktural, IPACS 2025 berbeda dari forum budaya konvensional karena mengintegrasikan elemen co-creation: seniman lokal NTT berkolaborasi langsung dengan delegasi Pasifik dalam workshop kerajinan dan pertunjukan improvisasi. Pendekatan ini menghindari hierarki “donor-recipient” yang kerap mewarnai bantuan budaya, dan lebih menyerupai model horizontal exchange ala UNESCO Intangible Cultural Heritage.
Dari sudut antropologi, acara ini juga memperkuat konsep translocal identity di wilayah Austronesia. Kesamaan motif tenun ikat NTT dengan pola tapa Polinesia, atau ritme tifa Papua dengan drum slit Pasifik, menjadi bukti jejak migrasi prasejarah yang masih hidup. IPACS, dengan demikian, bukan hanya pertemuan politik, melainkan re-enactment dari jaringan maritim kuno yang kini direvitalisasi dalam kerangka modern.
Ke depan, semangat IPACS berpotensi melahirkan inisiatif konkret seperti Pacific Cultural Corridor—sebuah jaringan museum digital dan residensi seniman antarnegara. Namun, keberhasilannya bergantung pada kemampuan Indonesia menavigasi sensitivitas kedaulatan Pasifik tanpa terjebak dalam narasi big brother. Di tengah ancaman perubahan iklim yang mengancam pulau-pulau kecil, budaya mungkin menjadi last common language yang menyatukan kawasan.
IPACS 2025 di Kupang bukan akhir, melainkan overture dari simfoni yang lebih panjang.
Pewarta : Albertus Parikesit

