RI News Portal. Subulussalam, 10 November 2025 – Operasional PT Mitra Sawit Bersama II (PT MSB II) di Desa Namo Buaya, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, memicu kontroversi serius karena perusahaan pengolahan kelapa sawit ini diduga berjalan tanpa izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang lengkap. Kondisi ini tidak hanya melanggar ketentuan hukum nasional, tetapi juga menimbulkan polusi udara berupa bau busuk yang mengganggu ribuan warga di Desa Namo Buaya dan desa-desa tetangga seperti Cipare-pare.
Amdal merupakan instrumen hukum wajib bagi setiap entitas usaha, termasuk pemegang Hak Guna Usaha (HGU), Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS), dan industri lainnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tanpa dokumen ini, perusahaan secara yuridis belum memenuhi syarat operasional, karena Amdal memastikan dampak lingkungan—termasuk polusi udara—dikelola secara bertanggung jawab untuk menjamin kesehatan masyarakat sekitar. “Perusahaan tidak boleh mengabaikan aspek ini, karena undang-undang secara tegas mewajibkan jaminan lingkungan sehat bagi komunitas lokal,” ungkap sumber ahli lingkungan yang enggan disebut namanya.
Di lapangan, warga melaporkan aroma menyengat yang diduga berasal dari limbah cair pengolahan kelapa sawit. Bau tersebut menyebar luas, mengganggu aktivitas sehari-hari dan berpotensi menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang, seperti gangguan pernapasan. “Kami sudah sering mengeluh, tapi tidak ada tindakan nyata dari pihak perusahaan untuk menangani limbah ini,” kata salah seorang warga Desa Namo Buaya yang mewakili keluhan kolektif ribuan penduduk.

Ketua Tim Investigasi Lembaga Penyelamat Lingkungan Hidup Indonesia (LPLHI), Ipong, mengecam kelalaian ini sebagai bentuk pengabaian polusi udara yang sistematis. “Pengelolaan limbah yang buruk berdampak langsung pada kesehatan warga. Kami mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum segera melakukan inspeksi mendalam terhadap PT MSB II, termasuk verifikasi kelengkapan izin. Mereka harus bertanggung jawab penuh atas pencemaran ini,” tegas Ipong dalam pernyataan eksklusif.
Pengakuan resmi datang dari Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Subulussalam, Lidin Padang, yang mengonfirmasi ketidaklengkapan perizinan. “PT MSB II memang belum memiliki izin lengkap seperti yang diwajibkan untuk perusahaan profesional. Beberapa dokumen, termasuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan izin lingkungan, masih dalam proses. Meski demikian, operasional tetap berlangsung,” ujar Lidin. Pernyataan ini memicu kecurigaan publik terhadap pengawasan pemerintah daerah, yang tampaknya membiarkan pelanggaran berlanjut tanpa intervensi tegas.
Baca juga : Gubernur Bali Ajak Generasi Muda Teladani Kesabaran dan Pengabdian Pahlawan untuk Kemajuan Bangsa
Kasus ini menyoroti kelemahan sistem perizinan di sektor industri kelapa sawit, di mana prioritas ekonomi sering kali mengorbankan prinsip keberlanjutan lingkungan. Para pakar menekankan bahwa tanpa penegakan hukum yang ketat, insiden serupa berisiko berulang, mengancam ekosistem lokal dan kesejahteraan masyarakat. Hingga kini, belum ada respons resmi dari manajemen PT MSB II terkait tuduhan ini.
Pewarta: Jaulim Saran

