RI News Portal. Jakarta, 9 November 2025 – Dalam diskusi publik di Jakarta, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menegaskan bahwa kecerdasan buatan (AI) tidak akan pernah sepenuhnya menggantikan peran manusia dalam komunikasi. Argumennya berpijak pada dimensi non-verbal yang inheren dalam interaksi antarmanusia, seperti gestur, ekspresi wajah, dan nada suara—elemen-elemen yang sulit direduksi menjadi algoritma matematis.
“Komunikasi manusia tidak pernah sekadar pertukaran kata,” ujar Nezar. “Ada lapisan makna yang hanya bisa ditangkap oleh sesama manusia melalui isyarat tubuh dan konteks emosional.” Pernyataan ini menyoroti paradoks AI generatif: semakin canggih teknologi tersebut dalam memproduksi teks, gambar, atau video, semakin terlihat pula jurang ontologis antara mesin dan manusia.
Perkembangan AI generatif telah mengubah lanskap produksi konten. Proses yang dulu memakan waktu berjam-jam kini dapat diselesaikan dalam hitungan detik, dengan minim intervensi manusia. Namun, efisiensi ini datang dengan harga: hilangnya empati dan kemampuan berpikir kritis. Nezar menekankan bahwa mesin, meskipun mampu meniru pola bahasa manusia, tidak memiliki kapasitas untuk memahami penderitaan, kegembiraan, atau ambivalensi emosional.

“Empati bukanlah data yang bisa dilatih,” katanya. “Ia adalah pengalaman hidup yang terakumulasi melalui interaksi nyata.” Tanpa empati, pesan yang dihasilkan AI berisiko menjadi steril, bahkan menyesatkan.
Salah satu kelemahan fatal AI adalah kecenderungannya untuk “berhalusinasi”—menghasilkan informasi yang tampak meyakinkan tetapi sama sekali tidak berdasar. Nezar mengilustrasikan dengan kasus nyata: sebuah firma konsultan global terpaksa mengembalikan dana kepada pemerintah Australia setelah laporan risetnya ternyata merujuk pada dokumen dan jurnal yang tidak pernah ada. Kasus ini bukanlah anomali; ia mencerminkan risiko sistemik ketika verifikasi manusia digantikan oleh otomatisasi buta.
“AI bisa menciptakan narasi yang koheren, tetapi koherensi bukanlah kebenaran,” tegas Nezar. “Kita membutuhkan manusia untuk memilah fakta dari fiksi, terutama di era di mana informasi salah dapat menyebar lebih cepat daripada kebenaran.”
Baca juga : Respons Cepat Pemprov Sumbar dan Pertamina Atasi Krisis Distribusi BBM Akibat Gangguan Cuaca Laut
Menutup pernyataannya, Nezar mengajak para akademisi dan praktisi komunikasi untuk terus mengasah dua kompetensi inti: empati dan berpikir kritis. “Kita tidak boleh menyerahkan pengambilan keputusan kepada mesin tanpa pengawasan manusia,” ujarnya. “Setiap pesan yang kita sampaikan harus tetap membawa nilai kemanusiaan—bukan sekadar efisiensi.”
Pernyataan ini relevan di tengah maraknya penggunaan AI dalam jurnalisme, pendidikan, dan kebijakan publik. Jika tidak diimbangi dengan etika dan verifikasi manusia, kemajuan teknologi justru dapat menggerus kepercayaan publik dan memperlemah kohesi sosial.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa di balik kilau algoritma, ada ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh hati nurani manusia.
Pewarta : Vie

