RI News Portal. Jakarta, 29 Oktober 2025 – Di tengah gejolak perdagangan global yang dipicu kebijakan proteksionis Amerika Serikat, Indonesia tengah menggelorakan upaya diplomatik untuk menyamakan posisi ekspor minyak sawitnya dengan Malaysia. Pemerintah menargetkan pembebasan total tarif impor hingga 0 persen untuk komoditas unggulan ini, mengikuti jejak kesepakatan resiprokal yang baru saja diraih tetangga sebelah. Langkah ini diharapkan tak hanya menyelamatkan surplus perdagangan nasional, tapi juga memperkuat daya saing petani dan pelaku industri sawit di pasar Paman Sam yang bernilai miliaran dolar.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, menyatakan optimisme bahwa proses negosiasi yang sedang berlangsung bisa menghasilkan kesepakatan setara dengan apa yang diperoleh Malaysia. “Ini masih dalam tahap diskusi intensif. Kami berharap, setidaknya, bisa mencapai paritas dengan Malaysia, sehingga ekspor kita tak lagi terhambat oleh ketidakadilan tarif,” ujar Putu saat ditemui di pinggir acara pembukaan Pameran Industri Agro di Jakarta, Rabu kemarin.
Latar belakangnya, Malaysia baru saja menandatangani perjanjian tarif resiprokal dengan AS yang memangkas beban impor dari 25 persen menjadi 19 persen secara keseluruhan. Namun, produk-produk andalan seperti minyak sawit, karet, kayu, komponen penerbangan, dan farmasi lolos dari ketentuan itu—langsung ditetapkan bebas tarif alias 0 persen. Kesepakatan ini, yang diumumkan pekan lalu, langsung menjadi benchmark bagi Indonesia, yang selama ini mendominasi 85 persen impor sawit AS dengan volume tahunan mencapai 2,25 juta ton metrik.

Bagi Indonesia, pembebasan tarif ini bukan sekadar isu ekonomi semata, melainkan soal keadilan pasar. Sebagai produsen sawit terbesar dunia dengan ekspor mencapai 29,5 juta ton pada 2024, Indonesia rentan kehilangan pangsa pasar jika tarif tetap menggerogoti margin keuntungan. “Dengan tarif 0 persen, kita akan berada di lapangan permainan yang sama dengan Malaysia. Ini akan membuka pintu lebih lebar untuk ekspansi ekspor, sekaligus menjaga stabilitas harga domestik bagi jutaan petani kecil,” tambah Putu, yang menekankan bahwa negosiasi ini juga mencakup komoditas lain seperti kakao dan karet.
Pernyataan Putu sejalan dengan arahan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang pada Selasa lalu (28/9) mengonfirmasi bahwa pemerintah masih dalam tahap akhir perundingan dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Airlangga menyoroti prioritas pada komoditas non-kompetitif AS, termasuk sawit yang tak diproduksi secara signifikan di sana. “Kami akan segera berkomunikasi ulang dengan USTR untuk klarifikasi dan percepatan. Targetnya, kesepakatan final yang saling menguntungkan, di mana Indonesia tak hanya selamat dari tarif 19 persen tapi juga bisa bersaing ketat,” katanya.
Proses ini berakar pada kebijakan eksekutif Presiden AS Donald Trump yang diterapkan sejak Agustus 2025, di mana tarif resiprokal 19 persen dikenakan pada impor dari Indonesia sebagai balasan atas surplus perdagangan bilateral yang mencapai 16,84 miliar dolar AS tahun lalu. Meski Indonesia berhasil menekan tarif awal 32 persen menjadi 19 persen melalui negosiasi tingkat tinggi pada Juli, pembebasan spesifik untuk sawit masih menjadi kartu truf yang harus dimainkan. Berbeda dengan Malaysia, yang langsung mengamankan pengecualian untuk 1.711 jenis produknya, Indonesia kini memanfaatkan momentum itu sebagai leverage diplomatik.
Baca juga : Mendorong Indonesia Emas 2045: Inovasi Riset dan Peningkatan SDM melalui Pendanaan Strategis
Dari sisi industri, harapan ini disambut antusias. Analis perdagangan dari Institut Ekonomi Indonesia memperkirakan bahwa bebas tarif bisa menaikkan volume ekspor sawit ke AS hingga 15-20 persen dalam dua tahun ke depan, setara dengan tambahan devisa 500 juta dolar AS. Namun, tantangan tetap ada: isu keberlanjutan lingkungan yang sering menjadi senjata AS dalam negosiasi. Indonesia telah menyiapkan data sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO) sebagai amunisi, mirip dengan argumen yang sukses dipakai Malaysia.
Secara lebih luas, kesuksesan negosiasi ini bisa menjadi preseden bagi negara-negara ASEAN lainnya yang terjepit kebijakan Trump. Dengan ekspor sawit menyumbang 12 persen dari total pengiriman ke AS, Indonesia tak hanya bertarung untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk keseimbangan rantai pasok global. Saat mata dunia tertuju pada Washington, tim negosiator Jakarta siap melangkah—demi memastikan bahwa minyak sawit Nusantara tak lagi jadi korban perang tarif, tapi justru jadi pemenang di panggung perdagangan internasional.
Pewarta : Setiawan Wibisono

