
RI News Portal. Jakarta, 16 Oktober 2025 – Dalam putusan yang menegaskan prinsip non ultra petita Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yudikatif tertinggi itu hari ini menolak permohonan Partai Buruh untuk menguji materi Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Keputusan ini, yang dinyatakan prematur, membuka ruang diskusi akademis mendalam tentang dinamika antara putusan konstitusional bersyarat dan kewajiban legislatif, sekaligus menyoroti kerentanan partai politik baru di tengah ambang batas parlemen 4 persen yang belum direvisi.
“Menyatakan permohonan pemohon Nomor 131/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima,” tegas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (16/10). Putusan ini bukan sekadar penolakan administratif, melainkan pengingat konstitusional bahwa locus standi pemohon harus didasari kerugian hak nyata, bukan spekulasi masa depan.
Inti persoalan terletak pada Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu, yang mewajibkan partai politik peserta pemilu meraih minimal 4 persen suara sah nasional untuk berhak atas kursi DPR. Norma ini telah diuji MK melalui Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, yang diucapkan Februari 2024. Saat itu, MK menyatakan pasal tersebut konstitusional untuk Pemilu DPR 2024, tetapi konstitusional bersyarat mulai Pemilu 2029 – dengan syarat pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) merevisi besaran ambang batas berdasarkan pedoman spesifik, seperti prinsip kesetaraan dan representasi proporsional.

Sayangnya, hingga kini – hampir dua tahun pasca-putusan – revisi itu mandek. “Ini adalah contoh klasik judicial overreach yang dibatasi oleh legislative inertia,” ujar Prof. Dr. Bivitri Susanti, pakar hukum konstitusi dari Universitas Indonesia. Menurutnya, putusan MK 2023 bukan fatwa mutlak, melainkan mandat perubahan yang mengikat secara moral dan hukum, tapi bergantung pada inisiatif DPR. Keterlambatan ini, lanjut Susanti, menciptakan vacuum normatif yang merugikan partai kecil seperti Partai Buruh.
Partai Buruh mengajukan permohonan pada 2025 dengan klaim kerugian konstitusional berupa ancaman hilangnya representasi di DPR 2029. Mereka membawa “bukti baru” berupa data elektoral historis: pada Pemilu 2024, partai ini hanya meraup 1,8 persen suara nasional, jauh di bawah ambang batas. “Sekalipun DPR merevisi angka 4 persen menjadi 3 persen, kami tetap terpinggirkan jika sistem nasional tidak bergeser ke ambang batas daerah pemilihan,” tegas Sekjen Partai Buruh, Giring Ganesha, dalam sidang sebelumnya.
Permohonan mereka radikal: minta MK memaknai ulang Pasal 414 ayat (1) menjadi “penentuan kursi DPR berdasarkan ambang batas suara sah di setiap daerah pemilihan” – mirip sistem DPRD. Ini, menurut Partai Buruh, selaras dengan Pasal 19A UUD 1945 tentang hak politik warga dan prinsip one person, one vote. Namun, MK menolak: “Anggapan kerugian hak pemohon tidak berdasar pada norma yang berlaku pasca-Putusan 116/2023. Permohonan ini prematur,” jelas Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangan hukum.
Baca juga : Prabowo Dorong Revolusi Pupuk Murah dan DHE Optimal: Langkah Strategis Menuju Swasembada Pangan 2025
Isra menekankan doktrin ripeness dalam judicial review: MK tak boleh intervensi dini jika trigger (revisi DPR) belum terjadi. “Ini bukan penolakan substansi, tapi prosedural. Partai Buruh boleh ajukan lagi pasca-revisi,” tambahnya.
Dari lensa akademis, putusan ini mengemuka sebagai studi kasus constitutional moment yang tertunda. Dr. Feri Amsari, Wakil Ketua MK sekaligus guru besar hukum tata negara Universitas Andalas, menganalisis dalam jurnal internal MK: “Ambang batas 4 persen, lahir dari UU Pemilu 2008, dirancang cegah fragmentasi DPR. Tapi di era polarisasi digital 2025, ia justru jadi gerrymander konstitusional bagi partai besar.” Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, sejak 2014, hanya lima partai yang lolos batas – menyisakan 12 partai nasional terpinggirkan.
Lebih dalam, putusan ini soroti democratic deficit. Peneliti CSIS Indonesia, Ray Rangkuti, berargumen: “Sistem nasional cacat karena abaikan disparitas regional. Di Jawa, suara terkonsentrasi; di Papua, terdilusi. Model daerah pemilihan ala Partai Buruh bisa tingkatkan inklusivitas hingga 20 persen, berdasarkan simulasi elektoral kami.” Namun, tantangan: revisi butuh 2/3 suara DPR, yang didominasi pemenang 2024 – potensi status quo bias.

Putusan MK hari ini tak tutup pintu reformasi, malah dorong aksi legislatif. Pemerintah pusat di bawah Presiden Prabowo Subianto telah sinyal revisi UU Pemilu akhir 2025, termasuk diskusi ambang batas. “Kami hormati MK. Revisi segera digarap,” kata Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung.
Bagi Partai Buruh, ini momentum lobi koalisi dengan partai kecil lain seperti PSI dan Gelora. “Kami tak menyerah. Putusan prematur ini justru bukti MK lindungi proses demokrasi,” kata Giring. Akademisi setuju: kegagalan revisi bisa picu gelombang uji materi baru 2026, berisiko judicial overload.
Di tengah isu global seperti fragmentasi politik AS dan Eropa, Indonesia kini di persimpangan: pertahankan efisiensi atau embrak representasi? Putusan MK 131/PUU-XXIII/2025, ironisnya, jadi katalisator – bukan penghalang – bagi demokrasi substantif.
Pewarta : Yogi Hilmawan
