
RI News Portal. Sharm El-Sheikh, Mesir 14 Oktober 2025 – Di tengah hiruk-pikuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Gaza yang menjadi panggung global untuk menandai akhir konflik panjang di Timur Tengah, sebuah momen kecil namun sarat makna mencuri perhatian: pujian terbuka dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada Presiden Indonesia Prabowo Subianto. “Juga bersama kita ada Presiden Prabowo. Seorang sosok yang luar biasa, Presiden Indonesia,” ujar Trump dengan nada antusias, seperti dikutip dari keterangan resmi Sekretariat Presiden RI pada Selasa (14/10/2025). Pernyataan itu dilontarkan saat sesi pernyataan bersama di Sharm El Shaikh International Convention Centre, di mana para pemimpin dunia menyaksikan penandatanganan kesepakatan gencatan senjata yang dibrokir AS antara Israel dan Hamas.
KTT ini, yang digelar pada Senin (13/10/2025) dan dipimpin bersama oleh Trump serta Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi, bukan hanya titik akhir bagi perang Gaza yang telah merenggut puluhan ribu nyawa sejak 2023. Lebih dari itu, forum ini menjadi ajang untuk merancang fondasi perdamaian berkelanjutan, termasuk rencana rekonstruksi Gaza sebagai pusat investasi regional—sebuah visi yang Trump gambarkan sebagai “hari baru yang indah” bagi kawasan tersebut. Hadir pula tokoh-tokoh kunci seperti Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Presiden Prancis Emmanuel Macron, serta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Kehadiran Prabowo di antara mereka menegaskan peran Indonesia sebagai aktor netral yang disegani, terutama dalam isu-isu kemanusiaan global.
Namun, sorotan terbesar jatuh pada interaksi pribadi antara Trump dan Prabowo. Setelah pujiannya, Trump secara khusus mengundang Presiden RI untuk maju ke podium dan menyampaikan sambutan di hadapan para kepala negara. Permintaan itu, yang disampaikan dengan gestur akrab, seolah ingin menempatkan Prabowo sebagai bintang tamu kehormatan. Akan tetapi, Prabowo menolaknya secara halus, memilih untuk tidak mengambil panggung utama. Sebagai gantinya, ia berjalan mendekati Trump untuk berjabat tangan, disertai senyum sederhana yang mencerminkan sikap rendah hati. “Terima kasih, tapi ini saatnya untuk agenda bersama kita semua,” katanya dalam bahasa Inggris yang fasih, menurut sumber dekat delegasi Indonesia yang hadir.

Gestur ini bukan sekadar etika protokol, melainkan cerminan mendalam dari prinsip diplomasi Indonesia yang berakar pada Pancasila dan politik luar negeri bebas aktif. Dalam konteks akademis, keputusan Prabowo dapat dianalisis melalui lensa teori diplomasi “soft power” Joseph Nye, di mana pengaruh tidak selalu datang dari dominasi panggung, melainkan dari kemampuan membangun kepercayaan melalui kerendahan hati. Dengan menolak sorotan pribadi, Prabowo menghindari potensi ketidakseimbangan dalam dinamika forum multilateral, di mana suara-suara dari negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali terpinggirkan. Ini juga mengingatkan pada tradisi diplomasi Nusantara, seperti yang ditunjukkan oleh Soekarno di Konferensi Asia-Afrika 1955, di mana Indonesia memposisikan diri sebagai jembatan, bukan pusat perhatian.
Lebih jauh, momen ini menggarisbawahi evolusi hubungan bilateral AS-Indonesia di era pasca-pandemi. Pujian Trump—yang dikenal dengan gaya retorisnya yang bombastis—bukan hanya apresiasi pribadi, tapi juga sinyal geopolitik. Di tengah ketegangan global seperti rivalitas AS-China, Indonesia di bawah Prabowo semakin dipandang sebagai mitra strategis di Indo-Pasifik. Kehadirannya di KTT Gaza, misalnya, memperkuat komitmen Indonesia terhadap isu Palestina, sejalan dengan dukungan historis sejak era Soeharto. Sementara Trump menekankan perluasan Abraham Accords untuk inklusi negara Muslim, Prabowo mewakili suara mayoritas umat Islam terbesar di dunia yang menuntut solusi dua negara yang adil.
Baca juga : Belgia Kalahkan Wales dalam Drama Enam Gol di Cardiff
Dari perspektif internasional, interaksi ini juga menyoroti kontras gaya kepemimpinan: Trump yang ekspresif versus Prabowo yang terkendali. Analisis awal dari pakar hubungan internasional di Universitas Indonesia menilai bahwa sikap Prabowo tidak hanya mempertahankan martabat Indonesia, tapi juga membuka pintu bagi kolaborasi lebih lanjut, seperti investasi AS di sektor energi hijau Indonesia. “Ini adalah diplomasi yang bijak, di mana kehormatan nasional dijaga tanpa mengorbankan harmoni kolektif,” kata seorang diplomat senior yang enggan disebut namanya.
Saat para pemimpin meninggalkan convention centre dengan dokumen kesepakatan di tangan—yang mencakup pertukaran tahanan dan rencana bantuan kemanusiaan senilai miliaran dolar—momen Prabowo-Trump menjadi pengingat bahwa perdamaian global sering kali dibangun dari gestur kecil. Bagi Indonesia, ini bukan akhir dari perjuangan, melainkan babak baru dalam memperkuat posisinya sebagai penjaga keseimbangan dunia. Seperti yang disinggung Trump dalam pidatonya, “Hari baru sedang terbit”—dan Indonesia, melalui Prabowo, siap berkontribusi tanpa perlu berteriak paling keras.
Pewarta : Albertus Parikesit
