
RI News Portal. Lampung Barat 1 Oktober 2025 – Dalam tradisi arisan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, pola penipuan biasanya mengalir searah: peserta yang tertipu oleh penyelenggara bodong yang menjanjikan imbal hasil fantastis. Namun, kasus terbaru dari Lampung Barat dan Padang membalikkan narasi tersebut. Kali ini, pemilik arisan—sebagai pihak yang biasanya dianggap sebagai pengelola—justru menjadi korban penggelapan dana oleh anggota kelompoknya sendiri. Fenomena ini, yang menyerupai skema balik ponzi dalam lingkup kecil, menyoroti kerentanan sistem arisan konvensional di tengah maraknya transaksi tunai tanpa pengawasan digital yang ketat.
Khoirunnisa Wulandari, atau yang akrab disapa Wulan, seorang pengusaha kecil berusia 35 tahun asal Lampung Barat, mengelola arisan tunai berbasis komunitas sejak tiga tahun terakhir. Arisannya, yang melibatkan sekitar 50 anggota dari kalangan ibu rumah tangga dan pedagang lokal, dirancang sebagai wadah gotong royong sederhana: setoran bulanan Rp500.000 per orang, dengan pemenang undian menerima pot total. “Saya mulai ini untuk bantu tetangga yang kesulitan modal usaha, bukan untuk untung besar,” cerita Wulan dalam wawancara eksklusif dengan tim redaksi kami via Zoom, suaranya masih terdengar gemetar meski seminggu telah berlalu sejak insiden.
Kerugian Wulan mencapai separuh miliar rupiah—tepatnya Rp500 juta—hanya dalam seminggu akhir September lalu. Modusnya sederhana namun kejam: anggota yang beruntung memenangkan undian sengaja mengabaikan tenggat pengembalian dana tunai yang dititipkan kepadanya. Alih-alih mengembalikan pot penuh setelah jatuh tempo, mereka menghilang atau memberikan alasan seadanya. “Ini bukan arisan bodong dari awal; uangnya nyata, tapi mereka yang pegang malah kabur,” tambah Wulan, yang kini terpaksa menangguhkan seluruh kegiatan kelompoknya.

Kasus serupa menimpa Ayu Surya Novella, atau Ayu, 32 tahun, pemilik arisan serupa di Padang, Sumatera Barat. Ayu, mantan guru honorer yang beralih ke bisnis online, mengelola tiga kelompok arisan dengan total 80 anggota. Kerugiannya tak kalah parah: Rp450 juta hilang akibat pola yang mirip. “Anggota saya banyak yang dari komunitas masjid dan pasar tradisional; saya percaya mereka karena sudah kenal bertahun-tahun,” ujar Ayu, yang kini bergulat dengan tagihan pribadi untuk menutup lubang keuangan. Bedanya, kasus Ayu melibatkan elemen tambahan: beberapa anggota menggunakan KTP palsu atau milik orang lain sebagai jaminan saat menitipkan dana lebih besar, mirip dengan trik yang biasa dilakukan korban dalam skema investasi bodong.
Fenomena ini bukan sekadar cerita pribadi, melainkan cerminan tren baru yang mengkhawatirkan. Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dirilis awal 2025, laporan pengaduan terkait arisan konvensional naik 35% dibanding tahun sebelumnya, dengan 40% di antaranya berasal dari pengelola yang menjadi korban penggelapan. “Arisan tunai rentan karena minim rekam jejak digital; transaksi cash membuatnya sulit dilacak, berbeda dengan arisan online yang kini marak tapi juga rawan ponzi,” jelas Prof. Dr. Mochklas Hidayat, pakar ekonomi perilaku dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, dalam analisisnya yang kami kutip dari studi terbarunya. Ia menambahkan bahwa faktor psikologis seperti “kepercayaan komunal” sering dimanfaatkan, di mana anggota merasa berhak atas dana karena “sudah setia ikut lama,” meski secara hukum itu penggelapan.
Baca juga : Ironi Infrastruktur di Kabupaten Semarang: Jalan Rusak di Depan Sekolah Dibiarkan Mangkrak
Detail kerugian Wulan mencakup puluhan tagihan kecil yang menumpuk menjadi beban besar. Inisial seperti J (Rp59.380), Y (Rp74.300), hingga E (Rp5 juta) merepresentasikan anggota yang gagal mengembalikan dana mereka. Total keseluruhan mencapai Rp288.270 dari daftar parsial, tapi itu hanya puncak gunung es dari pot arisan utama yang lenyap. Yang paling dramatis adalah aksi inisial Y, yang bahkan mendatangi rumah Wulan untuk mengintimidasi. “Dia datang malam-malam, marah-marah soal ‘haknya’ atas undian, padahal uangnya sudah jatuh tempo dua minggu,” kenang Wulan. Keluarga Wulan, yang terdiri dari suami dan dua anak kecil, langsung bereaksi: mereka merekam pertemuan itu dan melaporkannya ke polisi setempat sebagai ancaman. “Kami tak terima; ini bukan urusan pribadi lagi, tapi kriminal,” tegas adik Wulan, yang ikut menangani urusan hukum.
Upaya penyelesaian pun berliku. Wulan dan Ayu sama-sama memberikan toleransi berlapis: pertama, opsi bayar via setoran arisan baru—tapi justru tak dibayar. Kedua, cicilan seadanya, yang hanya diikuti sebagian kecil. Akhirnya, beberapa anggota kooperatif menandatangani Surat Pernyataan Penggelapan Dana, sebuah dokumen sederhana yang mengakui utang dan janji pelunasan bertahap. “Ada yang masih komunikatif, meski lambat bayar; ada pula yang blokir WhatsApp dan hilang kontak,” keluh Ayu. Dari 20 anggota bermasalah di kelompoknya, hanya enam yang menunjukkan itikad baik, sementara sisanya seperti bayangan yang lenyap di era digital.

Kasus-kasus ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keberlanjutan arisan sebagai instrumen inklusi keuangan di Indonesia. Di satu sisi, arisan konvensional telah memberdayakan jutaan perempuan di pedesaan, dengan nilai transaksi nasional mencapai triliunan rupiah per tahun menurut Bank Indonesia. Di sisi lain, absennya regulasi ketat—seperti verifikasi digital atau asuransi dana—membuatnya jadi ladang subur bagi penggelapan internal. “Ini pembalikan peran yang ironis: biasanya korban adalah yang bergabung, kini justru yang mengelola. Butuh literasi keuangan yang lebih dalam, bukan hanya soal arisan online, tapi juga yang offline,” tegas Dr. Rina Susanti, peneliti keuangan mikro dari Institut Pertanian Bogor, yang kami hubungi untuk konteks lebih luas.
Hingga berita ini diturunkan, Wulan dan Ayu telah melaporkan kasusnya ke polisi masing-masing wilayah, dengan harapan proses hukum berjalan adil. Wulan berencana beralih ke arisan digital berbasis blockchain sederhana untuk rekam jejak transparan, sementara Ayu fokus membangun komunitas baru dengan screening anggota lebih ketat. “Arisan bukan harus mati; tapi kita harus belajar dari luka ini,” pesan Wulan, yang kini bangkit dengan semangat gotong royong yang sama yang pernah dikhianatinya.
Fenomena “Beda Dari Biasanya” ini mengingatkan kita: di balik keakraban arisan, ada garis tipis antara kepercayaan dan pengkhianatan. Masyarakat diimbau untuk mendokumentasikan setiap transaksi, meski tunai, dan melibatkan saksi atau notaris untuk undian besar. Sebagai bangsa yang bergantung pada ikatan sosial, kita tak boleh membiarkan satu penggelapan merusak fondasi gotong royong yang telah teruji.
Pewarta : IF
