RI News Portal. Sragen, 23 September 2025 – Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Sragen sejak awal minggu ini tak hanya menyulitkan aktivitas warga, tapi juga menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pengamat infrastruktur. Di tengah genangan air yang meluas di berbagai titik, proyek Rekonstruksi Jalan Jono-Tanon, yang senilai Rp5.797.000.000 dari sumber Bankeu, diduga melanggar prosedur standar pelaksanaan pekerjaan talud. Proyek ini, yang ditargetkan rampung pada tahun anggaran 2025 dengan volume 3.330 km dan lebar jalan 4,50 m hingga 4 m, dikerjakan oleh penyedia jasa CV Mitra Karya Lima—dengan keterlibatan subkontraktor berinisial P—seharusnya memprioritaskan keselamatan struktural di kondisi cuaca ekstrem. Namun, laporan lapangan menunjukkan pekerjaan talud justru dilakukan tanpa penyesuaian, berpotensi membahayakan pengguna jalan dan merugikan keuangan daerah.
Cuaca buruk di Sragen, seperti yang diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), telah menciptakan genangan air di lokasi proyek sepanjang rute Jono-Tanon. Potensi hujan ringan hingga lebat, dengan suhu udara berkisar 24-31°C dan kelembaban hingga 94%, membuat tanah menjadi labil dan rawan erosi. Dalam situasi ini, prosedur pelaksanaan pekerjaan talud seharusnya mengikuti standar ketat untuk mencegah kegagalan struktural. Sayangnya, berdasarkan pengamatan awal dari tim pengawas independen, pekerjaan justru diteruskan dengan metode standar—seperti pemasangan batu kali dan campuran beton tanpa dewatering atau pengeringan lokasi terlebih dahulu—sehingga material konstruksi terpapar air secara langsung.

Dari perspektif hukum, kasus ini menyoroti ketidakpatuhan terhadap kerangka regulasi nasional dan daerah yang mengatur pembangunan infrastruktur jalan. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan menegaskan bahwa penyelenggaraan jalan daerah, termasuk rekonstruksi, harus memastikan kestabilan dan keamanan struktural, dengan penekanan pada adaptasi terhadap kondisi lingkungan seperti banjir atau genangan air. Lebih spesifik, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 12/PRT/M/2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan mewajibkan prosedur khusus untuk mengelola air hujan agar tidak menimbulkan genangan yang mengganggu pekerjaan. Di tingkat daerah, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sragen Nomor 10 Tahun 2015 tentang Jalan memperkuat kewajiban pemerintah daerah dalam pengawasan pembangunan, termasuk musyawarah pengadaan tanah dan pemastian kualitas material di bawah pengaruh cuaca.
Pelanggaran prosedur ini juga bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (sebagaimana diubah terakhir oleh Perpres Nomor 46 Tahun 2025). Regulasi ini menuntut transparansi dan kepatuhan penuh terhadap spesifikasi teknis dalam kontrak, di mana penyedia jasa seperti CV Mitra Karya Lima wajib menyesuaikan metode pelaksanaan dengan kondisi lapangan. Jika terbukti, pelanggaran ini bisa dikategorikan sebagai penyimpangan administratif, yang berujung pada sanksi berlapis: mulai dari pencabutan penawaran atau pembatalan kontrak, denda keterlambatan penyelesaian, hingga pemblokiran partisipasi di proyek pemerintah selanjutnya. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menekankan prinsip akuntabilitas, di mana pejabat pengadaan dapat dikenai tanggung jawab pidana jika terbukti lalai dalam pengawasan.
Akademis, para pakar hukum tata usaha negara seperti Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam karyanya tentang administrasi publik menyoroti bahwa pelanggaran semacam ini bukan hanya isu teknis, tapi juga pelanggaran amanah konstitusional. Dalam konteks APBD, dana publik yang bersumber dari pajak warga Sragen—termasuk sektor pertanian yang rentan hujan—harus dijamin efisiensi dan efektivitasnya. Ketidakpatuhan berpotensi memicu gugatan perdata dari masyarakat terdampak, sebagaimana kasus serupa di Jawa Tengah yang pernah berujung pada audit forensik oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, praktik pekerjaan talud di tengah genangan air membawa risiko struktural yang mendalam. Talud, sebagai dinding penahan tanah untuk mencegah longsor di lereng jalan, memerlukan fondasi kering agar material seperti batu kali, mortar, atau beton bertulang dapat mengikat dengan optimal. Menurut pedoman teknis dari Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, dewatering—proses pengeringan melalui pompa atau saluran sementara—adalah langkah wajib di kondisi lembab untuk menghindari pori-pori material terisi air, yang mengurangi kekuatan ikat hingga 40%. Tanpa itu, talud berisiko retak prematur.
Dampaknya bagi pengguna jalan Jono-Tanon, yang melayani ratusan kendaraan harian termasuk truk pertanian, bisa fatal: longsor sekunder yang memicu kecelakaan lalu lintas, genangan kronis yang mempercepat kerusakan aspal, dan erosi tanah yang mengancam permukiman pinggir jalan. Secara ekonomi, rekonstruksi ulang bisa menelan biaya tambahan hingga dua kali lipat dari anggaran awal, membebani APBD Sragen yang sudah terbatas. Lingkungan juga terdampak; air hujan yang tak terkendali dapat mencuci material konstruksi ke sungai terdekat, seperti Bengawan Solo, meningkatkan sedimentasi dan mengganggu ekosistem perikanan lokal.
Para ahli geoteknik, seperti yang dikutip dari Pedoman Penanganan Tanah Ekspansif Kementerian PUPR, memperingatkan bahwa tanah basah di Sragen—dengan kadar air tinggi akibat curah hujan tahunan di atas 1.800 mm—membuat talud rentan terhadap tekanan lateral aktif. Jika tidak ditangani, risiko ini bisa berlipat dalam 2-5 tahun, terutama saat musim hujan berikutnya.
Pemerintah Kabupaten Sragen, melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), diharapkan segera membentuk tim investigasi independen untuk memeriksa lokasi proyek. Langkah ini selaras dengan amanah Perda Sragen Nomor 10 Tahun 2015, yang mewajibkan penindakan tegas terhadap penyedia jasa yang melanggar. Warga Tanon dan Jono, yang telah menyuarakan kekhawatiran melalui petisi daring, menuntut transparansi penuh: mulai dari laporan kemajuan harian hingga audit kualitas material. Hanya dengan sikap tegas ini, proyek infrastruktur bisa menjadi amanah bagi masyarakat dan negara, bukan beban yang berkepanjangan.
Di era digital, kasus ini menjadi pengingat bahwa pembangunan berkelanjutan tak boleh dikorbankan demi jadwal. Dengan hujan yang masih mengintai, Sragen punya kesempatan untuk memperbaiki: terapkan protokol darurat, libatkan masyarakat dalam pengawasan, dan pastikan setiap rupiah APBD menghasilkan jalan yang aman. Jika tidak, bukan hanya talud yang retak, tapi juga kepercayaan publik terhadap tata kelola daerah.
Pewarta : Nandang Bramantyo

