
RI News Portal Jakarta — Insiden gurauan seksis yang dilontarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi saat kunjungan kerja menyoroti pentingnya sensitivitas gender dalam komunikasi pejabat publik. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merespons dengan teguran keras, mengingatkan bahwa humor seksis bukan hanya bentuk pelecehan verbal, tetapi juga berpotensi sebagai tindak pidana menurut Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Artikel ini mengkaji kasus tersebut dalam perspektif hukum, etika jabatan publik, dan budaya patriarki dalam masyarakat Indonesia.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengeluarkan pernyataan resmi yang mengimbau Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk menghentikan dan tidak mengulangi gurauan bernada seksis yang ditujukan kepada tubuh dan pengalaman perempuan. Imbauan ini menyusul insiden saat kunjungan kerja Gubernur mendampingi Menteri Kesehatan di Puskesmas Sirnajaya, Kabupaten Bekasi, Rabu (23/7/2025), di mana Dedi Mulyadi melontarkan candaan terhadap ibu-ibu penerima bantuan.

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (26/7), menyampaikan keprihatinannya. Ia menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam bertutur kata dan bersikap, terutama oleh pejabat publik yang kerap menjadi panutan masyarakat, termasuk generasi muda.
“Kami mengimbau KDM (Kang Dedi Mulyadi) untuk berhenti dan tidak mengulangi candaan dan gurauan seksis yang ditujukan pada tubuh dan pengalaman perempuan dalam pelaksanaan tugas dan kesehariannya sebagai pejabat negara,” ujarnya.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa humor atau candaan bernuansa seksual dan merendahkan perempuan dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual non-fisik. Hal ini telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mencakup tindak pelecehan seksual verbal, isyarat, dan perbuatan lain yang merendahkan martabat perempuan.
Baca juga : Presiden Jokowi Tanggapi Tuduhan Ijazah Palsu dengan Nada Satir dalam Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Pasal tersebut menegaskan bahwa kekerasan seksual bukan semata tindakan fisik, tetapi juga ekspresi verbal atau simbolik yang menciptakan rasa tidak nyaman, merendahkan martabat, dan memperkuat stereotipe gender. Dalam konteks ini, pejabat publik yang melakukan gurauan seksis bisa dilaporkan secara hukum, bukan hanya dikritik secara etis.
Secara normatif, etika publik menuntut pejabat negara untuk menjunjung nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan perlindungan terhadap kelompok rentan. Candaan yang merendahkan perempuan secara langsung bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi dan prinsip good governance yang mendasari pelayanan publik inklusif.
Menurut Dahlia Madanih, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga refleksi nilai sosial dan kultural yang dianut seseorang. Ucapan publik dari pejabat negara dapat memperkuat atau meruntuhkan nilai-nilai kesetaraan gender yang sedang diperjuangkan.
“Candaan atau gurauan seksis justru dapat menjadi medium untuk memelihara pandangan-pandangan dan budaya yang diskriminatif terhadap perempuan,” ungkap Dahlia.
Fenomena gurauan seksis yang kerap dianggap sepele sebenarnya merupakan refleksi dari budaya patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat. Komnas Perempuan menilai bahwa banyak orang, termasuk pejabat publik, melontarkan candaan seksis karena internalisasi nilai misoginis yang tidak disadari. Hal ini memperkuat objektifikasi tubuh perempuan dan mempersempit peran sosial mereka.
“Gurauan seksis seringkali tidak disadari karena dianggap sebagai hal yang remeh, padahal dapat menciptakan situasi yang tidak aman, terutama bagi perempuan,” tambah Dahlia.
Kasus ini menjadi momentum untuk mengevaluasi standar komunikasi pejabat publik dan urgensi peningkatan literasi gender di kalangan penyelenggara negara. Komnas Perempuan mengajak seluruh pemimpin daerah dan nasional untuk menjadi agen perubahan dalam membongkar budaya seksis di ruang publik dan privat.
Masyarakat pun diimbau untuk berani bersuara dan melaporkan apabila mengalami atau menyaksikan bentuk kekerasan verbal yang merendahkan martabat perempuan. Dalam negara hukum, pejabat publik harus menjadi contoh dalam menghormati hak asasi manusia dan nilai-nilai kesetaraan gender.
Pewarta : Galih Prayudi
