
RI News Portal. Jakarta 25 Juli 2025 – Pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya untuk membangun kembali permukiman bagi 1.500 pengungsi terdampak konflik sosial di Kabupaten Maybrat, Papua Barat. Inisiatif ini diumumkan oleh Menteri Hak Asasi Manusia (MenHAM) Natalius Pigai dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (25/7/2025), sebagai bagian dari upaya pemulihan pascakonflik dan pemenuhan hak dasar warga negara.
Menurut Natalius Pigai, rencana pembangunan ini tidak hanya mencakup hunian fisik, tetapi juga akan dilengkapi dengan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, serta akses terhadap sarana dan prasarana umum lainnya. “Pembangunan permukiman untuk ribuan pengungsi ini akan mengedepankan layanan, sarana dan prasarana hingga fasilitas pendidikan serta kesehatan,” jelas Pigai.
Dalam pelaksanaannya, pembangunan permukiman tersebut akan melibatkan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) dan sejumlah lembaga pemerintah lainnya. Namun demikian, Pigai menyatakan bahwa rincian pelaksanaan teknis dan alokasi anggaran baru akan disampaikan pada tahun 2026 setelah proses pengajuan anggaran penanganan konflik sosial diajukan dan disetujui oleh pemerintah pusat.

“Kalau kami sudah punya anggaran penanganan konflik sosial, nanti disiapkan. Mereka ini akan menjadi perhatian khusus pemerintah kabupaten, provinsi, dan Kementerian HAM ikut memfasilitasi,” ujar Pigai.
Langkah ini merefleksikan pendekatan lintas sektoral yang terintegrasi dalam proses rekonstruksi wilayah pascakonflik, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanganan Konflik Sosial.
Dalam pernyataannya, MenHAM juga menekankan pentingnya meninjau ulang faktor-faktor struktural yang menjadi pemicu konflik di Maybrat, termasuk potensi diskriminasi dan kesenjangan pembangunan wilayah. Pigai menyebut bahwa pembangunan infrastruktur jalan yang menghubungkan Maybrat dengan Bintuni harus menjadi prioritas nasional.
“Kami menilai terdapat kemungkinan adanya faktor diskriminasi dan kesenjangan pembangunan yang menyebabkan konflik di wilayah Maybrat muncul. Sehingga jalan dari Maybrat sampai dengan Bintuni harus menjadi proyek strategis nasional,” tegas Pigai.
Analisis ini menunjukkan arah kebijakan yang tidak hanya bersifat reaktif terhadap dampak konflik, tetapi juga mencoba merespons akar permasalahan yang lebih dalam terkait keadilan sosial dan akses pembangunan di wilayah tertinggal.
Dari perspektif akademis, kebijakan ini mengindikasikan pergeseran paradigma dalam penanganan konflik horizontal di Indonesia, khususnya di kawasan timur. Pendekatan pembangunan kembali permukiman berbasis hak asasi manusia berpotensi memperkuat inklusi sosial dan menurunkan risiko konflik ulang (conflict relapse). Menurut teori rekonstruksi pascakonflik (post-conflict reconstruction), pemulihan wilayah tidak cukup dengan mengembalikan fungsi fisik, tetapi juga perlu memulihkan kepercayaan warga terhadap negara melalui jaminan hak-hak dasar.
Keterlibatan Kementerian HAM dalam fasilitasi permukiman memperlihatkan adanya integrasi antara pendekatan yuridis dan sosial dalam membangun tata kelola baru di wilayah yang pernah mengalami kekerasan. Di sisi lain, rencana menjadikan jalan Maybrat–Bintuni sebagai proyek strategis nasional menandai perhatian pemerintah pusat terhadap konektivitas wilayah dan pemerataan infrastruktur.
Inisiatif pembangunan permukiman bagi pengungsi konflik Maybrat di Papua Barat merupakan langkah awal yang menjanjikan untuk menciptakan ruang aman, berkeadilan, dan inklusif bagi warga terdampak konflik. Realisasinya pada tahun 2026 akan menjadi ujian terhadap komitmen negara dalam memenuhi hak konstitusional warga di daerah tertinggal dan rawan konflik. Jika berhasil, model ini dapat dijadikan preseden bagi penanganan konflik sosial di wilayah lain yang memiliki dinamika serupa.
Pewarta : Yogi Hilmawan
