
RI News Portal. Jakarta, 24 Juli 2025 – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan klarifikasi dan penegasan sikap pemerintah dalam menghadapi dinamika hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat, khususnya terkait dengan negosiasi tarif resiprokal sebesar 19 persen. Dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Presiden menanggapi secara kritis berbagai komentar negatif atau “nyinyir” yang berkembang di ruang publik terhadap kebijakan luar negeri dan ekonomi nasional yang tengah dijalankan pemerintah.
Prabowo menyatakan keheranannya terhadap sebagian pihak yang justru meragukan proses diplomasi ekonomi yang tengah dijalankan, padahal menurutnya, menghadapi Amerika Serikat dalam negosiasi internasional bukanlah hal yang mudah. “Tidak hanya kita, semua negara yang sedang menghadapi Amerika Serikat yang alot dalam bernegosiasi, pasti berhadapan dengan garis kebijakan yang keras. Tetapi ini adalah fakta, dan kita wajib menghadapinya demi kepentingan bangsa,” ujar Presiden Prabowo.
Dalam konteks hubungan bilateral, negosiasi tarif resiprokal dengan Amerika Serikat menjadi isu penting yang menentukan keberlanjutan ekspor-impor, investasi, serta perlindungan terhadap industri dalam negeri. Presiden Prabowo menyatakan bahwa pendekatan diplomatik yang ia tempuh adalah bagian dari tanggung jawabnya sebagai kepala negara untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional, terutama dalam konteks perlindungan terhadap tenaga kerja dan keberlangsungan usaha di Indonesia.

“Saya harus menjaga, agar tidak ada usaha yang gulung tikar, tidak ada alasan untuk PHK pekerja-pekerja kita. Karena itu saya bermusyawarah dan negosiasi. Tapi selalu saja ada yang nyinyir,” ucapnya dengan nada prihatin.
Dalam pandangan Presiden, kritik konstruktif adalah keniscayaan dalam demokrasi. Namun, ia menyoroti perbedaan antara kritik yang membangun dan komentar-komentar destruktif yang cenderung meremehkan kebijakan strategis pemerintah. “Kita perlu kritik dan pengawasan. Tapi kalau nyinyir, itu lain. Itu bukan pengawasan, tapi destruktif,” tegasnya.
Pernyataan ini mencerminkan pentingnya etika komunikasi politik dalam sistem demokrasi. Pemerintah membutuhkan kontrol publik, namun kontrol tersebut seyogianya berlandaskan informasi dan argumentasi yang objektif.
Presiden juga menyinggung soal program prioritas nasional “Makan Bergizi Gratis” (MBG) yang sempat mendapat respons skeptis dari berbagai kalangan. Ia menegaskan bahwa program tersebut bukan sekadar janji kampanye, melainkan merupakan mandat konstitusional untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara.
“Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan kita menyediakan pendidikan gratis. Tapi anak-anak yang lapar tidak boleh dibiarkan lapar. Itu tanggung jawab negara,” tegasnya, menandaskan korelasi antara pendidikan dan pemenuhan gizi dalam kebijakan sosial pemerintah.
Mengakhiri pidatonya, Presiden Prabowo meminta masyarakat untuk memberi kepercayaan kepada pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusi. Ia menekankan bahwa seluruh kebijakan dan program strategis dirancang untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bukan segelintir elit.
“Percayalah, Presiden yang telah kalian pilih akan bekerja sekeras-kerasnya untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Saya telah bersumpah pada diri saya sendiri,” pungkasnya.
Pernyataan Presiden Prabowo menunjukkan model kepemimpinan populis yang mencoba menjembatani tuntutan globalisasi ekonomi dengan aspirasi domestik. Dalam menghadapi tantangan negosiasi internasional, pendekatan yang berorientasi pada perlindungan industri dan pekerja dalam negeri merupakan strategi diplomasi ekonomi yang banyak dianut oleh negara berkembang.
Kritik terhadap kebijakan pemerintah memang merupakan bagian dari demokrasi deliberatif, tetapi dalam konteks komunikasi publik, penting pula ditumbuhkan budaya kritik yang berbasis data dan argumentasi rasional, bukan sekadar ekspresi emosional tanpa landasan.
Pewarta : Yudha Purnama
