
RI News Portal. DEIR AL-BALAH, Jalur Gaza — Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza kembali memburuk setelah sedikitnya 85 warga Palestina dilaporkan tewas saat mencoba mendapatkan bantuan makanan di berbagai lokasi pada Minggu (20/7). Data ini dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Gaza dan menandai hari paling mematikan bagi pencari bantuan sejak konflik Israel-Hamas memasuki bulan ke-22.
Peristiwa tragis tersebut terjadi di tengah meningkatnya perintah evakuasi oleh militer Israel di wilayah Gaza tengah, yang selama ini relatif aman dan menjadi pusat distribusi bantuan internasional. Sejumlah organisasi kemanusiaan, termasuk Medical Aid for Palestinians (MAP), melaporkan bahwa kantor-kantor mereka diperintahkan untuk segera ditutup.
Korban terbanyak tercatat di Gaza utara, khususnya di dekat perlintasan Zikim dengan Israel, di mana 79 orang tewas ketika kerumunan warga berusaha mendapatkan bantuan pangan. Program Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa konvoi bantuan yang membawa 25 truk bahan makanan disambut kerumunan besar warga yang dilanda kelaparan.

Seorang pejabat PBB, yang enggan disebutkan namanya, menuduh pasukan Israel melepaskan tembakan ke arah kerumunan tersebut. Rekaman yang dirilis menunjukkan kepanikan warga yang berlarian di tengah suara rentetan senjata otomatis. Kesaksian warga seperti Ehab Al-Zei menggambarkan kondisi lapangan yang mencekam: “Kami dikepung tank dan ditembaki selama sekitar dua jam. Lebih baik mati kelaparan daripada mati tertembak,” ujarnya.
Militer Israel mengklaim bahwa ribuan warga yang berkumpul di Gaza utara dianggap mengancam pasukan mereka. Meski mengakui adanya korban, Israel menyebut jumlah yang dilaporkan oleh pihak Gaza terlalu tinggi dibanding temuan awal mereka.
Selain insiden di Gaza utara, enam warga Palestina dilaporkan tewas akibat tembakan di daerah Shakoush, Rafah, dekat pusat distribusi Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang didukung AS dan Israel. Di Khan Younis, tujuh warga termasuk seorang anak berusia lima tahun tewas saat berlindung di tenda pengungsian.
Baca juga : Bentrokan Druze–Badui di Suriah: Krisis Kemanusiaan dan Tantangan Transisi Pascaperang
Perintah evakuasi baru dari militer Israel memutus jalur penghubung antara Deir al-Balah, Rafah, dan Khan Younis. PBB saat ini tengah meminta klarifikasi apakah fasilitas-fasilitas mereka termasuk dalam area evakuasi.
Juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, mendesak warga sipil berpindah ke Muwasi, sebuah kamp pengungsian dengan fasilitas minim di pantai selatan Gaza yang disebut sebagai “zona kemanusiaan.” Namun, banyak warga menilai kebijakan ini tidak memberikan solusi memadai. “Ke mana lagi kami harus pergi?” keluh Hassan Abu Azab, seorang warga Deir al-Balah.
Lebih dari 2 juta penduduk Gaza kini menghadapi krisis kemanusiaan akut dengan akses terbatas terhadap bantuan pangan, air bersih, dan obat-obatan. Ambulans di tiga rumah sakit besar di Gaza bahkan menyalakan sirene serentak sebagai bentuk seruan darurat terhadap kelaparan yang semakin meluas.

Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 58.800 warga Palestina telah tewas akibat operasi militer Israel sejak 7 Oktober 2023, lebih dari separuh di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. PBB dan berbagai organisasi internasional masih menganggap data kementerian ini sebagai sumber yang paling dapat diandalkan, meski berada di bawah pemerintahan Hamas.
Perang ini dipicu serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 lainnya. Sebanyak 50 sandera dilaporkan masih berada di Gaza, namun kurang dari separuh diyakini masih hidup.
Di Israel sendiri, tekanan publik untuk menghentikan perang semakin menguat. Forum Keluarga Sandera menuntut pemerintah Netanyahu mencari solusi damai dan memulangkan para sandera. Pada Sabtu (19/7), puluhan ribu warga Israel melakukan aksi protes di Tel Aviv, mendesak pemerintah mengakhiri konflik melalui kesepakatan gencatan senjata.
Pewarta : Setiawan S.TH
