
RI News Portal. Jakarta 21 Juni 2025 — Dua dekade lebih setelah film kultus “28 Days Later” mengguncang genre horor dengan virus mematikan dan zombie berlari cepat, sutradara Danny Boyle kembali menelusuri dunia pasca-apokaliptik melalui lanjutan kisah bertajuk “28 Years Later.” Film ini menandai kembalinya Boyle dan penulis naskah Alex Garland ke semesta fiksional yang dulu mereka bangun — namun kini dengan beban sejarah pandemi nyata dan gejolak sosial-politik kontemporer.
Alih-alih mengandalkan efek visual megah seperti tren film waralaba saat ini, 28 Years Later justru tampil minimalis, bahkan menggunakan kamera iPhone untuk sebagian besar adegan. Narasi utamanya bersandar pada karakter Spike (Alfie Williams), anak berusia 12 tahun yang tinggal bersama ayahnya, Jamie (Aaron Taylor-Johnson), dan ibunya yang sakit parah (Jodie Comer) di Pulau Suci, kawasan karantina yang terisolasi dari daratan utama Inggris akibat virus “rage” yang mewabah sejak 28 tahun lalu.
Gaya penceritaan film ini terasa lebih intim dan eksperimental, bahkan cenderung tidak terstruktur. Namun di situlah letak daya tariknya: 28 Years Later tidak berusaha menjadi film aksi zombie biasa. Ia memilih menyisipkan kritik terhadap nilai-nilai maskulinitas, isolasi geopolitik pasca-Brexit, hingga keputusasaan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan mitos penyembuhan.

Meski demikian, struktur cerita yang terkesan “acak” dan visual yang kadang terlalu kasar atau tidak fokus membuat film ini terasa seperti perenungan sinematik yang belum matang sepenuhnya. Perjalanan Spike dan ibunya dalam mencari seorang dokter misterius (diperankan apik oleh Ralph Fiennes) justru lebih menyerupai fabel distopia dengan lapisan-lapisan absurd dan simbolik.
Karakter-karakter pendukung tampil kuat meski aneh: seorang tentara NATO asal Swedia (Edvin Ryding), dan Jodie Comer yang memerankan seorang ibu dengan kejiwaan labil, menciptakan dinamika yang tidak biasa dalam dunia film zombie. Yang lebih menarik, film ini memperkenalkan dua tipe makhluk terinfeksi — para pelari cepat seperti di film sebelumnya, dan zombie lambat yang disebut “Slow-Lows” — menciptakan variasi ancaman yang unik dan tidak terduga.
Dalam ranah teknis, keputusan Boyle untuk kembali menggunakan pendekatan guerrilla filmmaking — termasuk pengambilan gambar dengan ponsel — patut diapresiasi meski kadang menimbulkan ketidaknyamanan visual. Ini menjadi semacam pernyataan artistik: di tengah dunia yang berantakan, tidak semua gambar harus tampak sempurna. Sebaliknya, kekacauan visual menjadi bagian dari narasi itu sendiri.
Baca juga : Diplomasi Nuklir di Tengah Perang: Eropa dan Iran Buka Peluang Dialog Meski Tanpa Terobosan Nyata
28 Years Later bukan sekadar sekuel, melainkan lanjutan visi distopik yang lebih gelap, lebih reflektif, dan lebih membumi. Namun dengan gaya penyutradaraan yang sengaja membiarkan kekacauan mengalir, film ini bisa jadi tidak cocok bagi penonton pencinta narasi rapi dan aksi konvensional. Meski begitu, keberanian Boyle dalam menyampaikan tema besar melalui lensa kecil layak mendapat tempat di tengah dominasi sinema hiburan yang serba instan.
Film ini tidak sempurna — bahkan bisa terasa terlalu berantakan bagi sebagian penonton — tetapi di dalamnya terdapat upaya jujur untuk menggali ulang luka, trauma, dan ketakutan masa kini dengan cara yang sinematik dan tidak pasaran.
Rating: ★★☆☆ (2 dari 4 bintang)
Durasi: 115 menit | Klasifikasi: R (dewasa)
Pewarta : Vie

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal
#teman, #all, #wartawan, #berita
Assalamualaikum…
Selamat siang… untuk Kita semua..
Salam sapa satu…