
“Praktik pemindahan tahanan ke negara dengan rekam jejak pelanggaran HAM, seperti El Salvador, berisiko melanggar prinsip non-refoulement dalam Konvensi Jenewa. Putusan ini memperkuat pentingnya pengawasan yudisial atas kebijakan imigrasi yang represif.”
— Prof. Claudia Mendez, Ph.D., Guru Besar Hukum Internasional, Universidad de los Andes, Kolombia
RI News Portal. Washington, D.C. Juni 2025 – Pengadilan Distrik Amerika Serikat pada Rabu (tanggal tidak disebut) mengeluarkan putusan penting terkait hak hukum para migran yang dideportasi ke El Salvador. Dalam putusannya, Hakim James Boasberg menyatakan bahwa pemerintahan Trump wajib menyediakan mekanisme hukum yang memungkinkan para migran untuk menentang pemindahan dan tuduhan kriminal yang dialamatkan kepada mereka.
Putusan ini menyusul kebijakan kontroversial yang diberlakukan pada bulan Maret, di mana sejumlah migran dikirim ke penjara di El Salvador berdasarkan penerapan undang-undang perang era abad ke-18. Mereka diduga memiliki afiliasi dengan kelompok kriminal transnasional asal Venezuela, yaitu Tren de Aragua—meski sebagian besar belum diberikan kesempatan untuk menanggapi tuduhan tersebut secara hukum.
Menurut hakim Boasberg, kebijakan tersebut melanggar prinsip dasar due process atau proses hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Konstitusi Amerika Serikat. Para migran tersebut, meskipun bukan warga negara, tetap berhak atas perlindungan hukum minimum, termasuk hak untuk menolak tuduhan dan penahanan tanpa dasar hukum yang jelas.

“Tidak dapat dibenarkan bahwa seseorang dapat dipindahkan ke fasilitas penahanan luar negeri berdasarkan undang-undang kuno tanpa akses untuk membela diri,” ujar Boasberg dalam putusannya.
Langkah pengiriman para migran ke Pusat Penahanan Terorisme di El Salvador, yang dikenal memiliki catatan pelanggaran hak asasi manusia, juga menuai kritik luas dari kalangan akademisi, organisasi HAM internasional, dan pakar hukum imigrasi.
Putusan ini berpotensi menjadi preseden penting dalam wacana global mengenai perlindungan hukum bagi migran, terutama dalam konteks kerja sama antarnegara yang melibatkan pemindahan tahanan. Dalam konteks hukum internasional, pemindahan migran ke negara ketiga tanpa prosedur hukum yang sah dapat dianggap sebagai bentuk deportasi paksa dan pelanggaran terhadap prinsip non-refoulement, yang melarang pengembalian individu ke negara di mana mereka berisiko mengalami penganiayaan.
Baca juga : Gerakan Tanam Pohon Serentak di Kawasan Danau Toba: Upaya Kolektif Menjaga Status UNESCO Global Geopark
“Ini bukan hanya isu nasional, tetapi menyentuh inti komitmen Amerika terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum,” kata Dr. Elena Morales, pakar hukum migrasi dari Georgetown University.
Dalam putusannya, hakim memerintahkan agar pemerintah menyediakan jalur hukum bagi para migran untuk mengajukan keberatan, baik atas proses pemindahan maupun tuduhan kriminal terhadap mereka. Ini mencakup akses terhadap bantuan hukum, penerjemah, serta waktu yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan.
Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS atau dari pihak pemerintah El Salvador terkait arahan pengadilan tersebut. Namun, para pengamat memperkirakan bahwa implementasi putusan ini akan memerlukan revisi terhadap sejumlah protokol deportasi serta kerja sama bilateral antarnegara.
Pewarta : Setiawan S.TH

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal