
RI News Portal. Jakarta, 18 Juni 2025 — Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis berat kepada Lisa Rachmat, seorang advokat senior, yang terbukti melakukan penyuapan kepada hakim demi mempengaruhi hasil putusan kliennya, Ronald Tannur, dalam perkara pembunuhan. Vonis yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti pada Rabu (18/6) menetapkan pidana penjara 11 tahun dan denda Rp750 juta, dengan subsider enam bulan kurungan apabila denda tidak dibayar.
Lisa Rachmat dijerat dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 18 dan Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia terbukti memberikan suap kepada hakim di Pengadilan Negeri Surabaya senilai Rp4,67 miliar dan kepada hakim agung di Mahkamah Agung sebesar Rp5 miliar. Tindak pidana ini dilakukan untuk mengondisikan vonis bebas terhadap Ronald Tannur pada tingkat pertama, serta memperkuat putusan bebas tersebut di tingkat kasasi.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menegaskan bahwa perbuatan Lisa tidak hanya merusak integritas lembaga peradilan, tetapi juga mencoreng martabat profesi advokat. Hakim Rosihan menyatakan, “Perbuatan terdakwa telah merusak mental aparatur PN Surabaya, mulai dari security, staf pendaftaran perkara, panitera muda pidana, hingga majelis hakim.” Pernyataan ini mencerminkan betapa sistemik dan terstruktur praktik suap tersebut, yang melibatkan banyak lapisan dalam ekosistem peradilan.

Kasus ini menyoroti urgensi reformasi dalam sistem peradilan pidana, khususnya dalam pengawasan etik profesi advokat. Secara normatif, advokat memiliki peran sentral sebagai penjaga keadilan (officium nobile), dengan kewajiban menjunjung tinggi integritas, kejujuran, dan supremasi hukum. Namun, kasus Lisa Rachmat menjadi ilustrasi menyedihkan dari penyimpangan fungsi tersebut.
Menurut Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, “Pelanggaran etik berat oleh advokat seperti ini bukan hanya ranah pidana, tetapi juga memperlemah legitimasi moral lembaga hukum secara keseluruhan. Ini krisis sistemik.” Ia menambahkan bahwa Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memiliki tanggung jawab besar untuk menjadikan kasus ini sebagai titik balik dalam penegakan kode etik profesi.
Meskipun vonis Lisa lebih ringan dibanding tuntutan jaksa (14 tahun penjara dan pencabutan hak profesi), majelis hakim mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan, termasuk status Lisa sebagai ibu berusia lanjut, belum pernah dihukum sebelumnya, serta adanya tekanan psikis akibat buruknya praktik peradilan yang dikhawatirkan merugikan kliennya.
Baca juga : Menperin Dorong Kuantifikasi Kontribusi Kawasan Industri sebagai Dasar Revisi UU Perindustrian
Namun, alasan tersebut justru mempertegas permasalahan struktural dalam sistem peradilan Indonesia. Jika seorang advokat merasa harus melakukan suap demi melindungi kepentingan hukum kliennya, maka kepercayaan publik terhadap netralitas dan keadilan lembaga peradilan berada dalam ancaman serius.
Kasus Lisa Rachmat menjadi preseden penting bagi Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, serta organisasi profesi advokat seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Desakan publik agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap integritas hakim dan kontrol internal lembaga peradilan tidak bisa diabaikan. Demikian pula, jaksa penuntut umum telah menuntut pencabutan status advokat Lisa sebagai pidana tambahan, yang menunjukkan keseriusan negara dalam menertibkan praktik hukum yang menyimpang.
Lebih lanjut, dari perspektif tata kelola kelembagaan, kasus ini menuntut revitalisasi sistem akuntabilitas internal lembaga peradilan dan perluasan mandat Komisi Yudisial dalam melakukan investigasi etik serta memberi rekomendasi sanksi terhadap hakim-hakim yang terlibat.
Vonis 11 tahun penjara terhadap Lisa Rachmat tidak hanya menjadi hukuman atas tindakan kriminal individu, tetapi juga menjadi cermin retaknya bangunan moral dalam praktik hukum Indonesia. Penegakan hukum tanpa integritas hanya akan melahirkan ketidakadilan sistemik. Maka, kasus ini harus dijadikan momentum untuk memperkuat institusi hukum, mereformasi etika profesi, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan yang berkeadilan dan bermartabat.
Pewarta : Setiawan S.TH

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal
#teman, #all, #wartawan, #berita