RI News Portal. Washington, 8 November 2025 – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana penempatan pasukan stabilisasi internasional di Gaza dalam waktu dekat, sebagai bagian dari upaya pasca-perang untuk menjaga keamanan dan rekonstruksi wilayah tersebut. Pengumuman ini disampaikan Trump pada pertemuan puncak di Gedung Putih pada Kamis (6/11/2025), yang dihadiri oleh para pemimpin Uzbekistan, Kyrgyzstan, Turkmenistan, dan Tajikistan. Dalam kesempatan itu, Trump juga mengonfirmasi bahwa Kazakhstan telah bergabung dengan Abraham Accords, menandai perluasan signifikan dari inisiatif normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara mayoritas Muslim.
Menurut Trump, situasi di Gaza saat ini “berjalan sangat baik” dengan gencatan senjata yang tetap berlaku secara keseluruhan, meskipun diwarnai beberapa pelanggaran sporadis. “Kami sedang bekerja sama erat dengan mitra regional dan sekutu untuk memastikan perdamaian ini berkelanjutan,” ujar Trump, menekankan peran Amerika Serikat sebagai koordinator utama pasukan stabilisasi. Pasukan ini, yang disebut sebagai International Stabilisation Force (ISF), direncanakan melibatkan kontribusi dari negara-negara Arab seperti Mesir dan Yordania, serta mitra internasional lainnya, termasuk potensi partisipasi dari Indonesia, Azerbaijan, dan Pakistan. Tujuannya adalah melatih polisi Palestina yang telah diverifikasi, mengamankan perbatasan, dan mencegah penyelundupan senjata, tanpa melibatkan pasukan tempur langsung dari Amerika Serikat.
Pengumuman ini muncul di tengah dinamika rumit pasca-gencatan senjata yang dimulai pada 10 Oktober 2025, setelah dua tahun konflik intens yang menewaskan puluhan ribu jiwa. Meski kesepakatan awal membawa jeda pertempuran besar-besaran, laporan-laporan menunjukkan adanya ketegangan berkelanjutan. Israel telah melakukan serangan udara di wilayah seperti Rafah dan Beit Lahia, yang menewaskan puluhan warga Palestina, termasuk anak-anak, sebagai respons terhadap dugaan pelanggaran oleh Hamas—seperti penyerangan terhadap pasukan Israel dan penyerahan sisa-sisa jenazah sandera yang dianggap tidak sesuai kesepakatan. Hamas membantah tuduhan tersebut, menyebut serangan Israel sebagai “pelanggaran mencolok” yang menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Kantor media Gaza bahkan mencatat setidaknya 80 pelanggaran oleh Israel sejak gencatan dimulai, yang menyebabkan ratusan korban dan membatasi akses bantuan ke tenda-tenda pengungsi serta fasilitas medis.

Dalam konteks yang lebih luas, Trump memuji kemajuan Abraham Accords sebagai “momentum baru bagi perdamaian regional.” Kazakhstan, negara Asia Tengah yang mayoritas Muslim dan telah memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sejak 1992, kini secara resmi bergabung sebagai negara kelima setelah Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Langkah ini, yang diumumkan Trump melalui panggilan telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev, dianggap lebih simbolis daripada substantif, tetapi strategis untuk memperkuat dialog antaragama dan kerjasama ekonomi. “Ini adalah klub kekuatan yang semakin besar, dan banyak negara lain akan menyusul,” kata Trump, dengan harapan negara-negara Asia Tengah lainnya seperti Uzbekistan dan Kyrgyzstan ikut serta, sehingga memperluas jaringan normalisasi di luar Timur Tengah.
Para pemimpin Asia Tengah yang hadir dalam pertemuan puncak menyambut baik inisiatif ini, melihatnya sebagai peluang untuk memperdalam hubungan dengan Amerika Serikat dan Israel di tengah ketidakstabilan regional. Trump menekankan bahwa kerjasama internasional seperti ini tidak hanya untuk Gaza, tetapi juga untuk membangun stabilitas jangka panjang di kawasan yang lebih luas. “Kami ingin melihat Gaza yang aman, di mana warga bisa membangun kembali hidup mereka tanpa ancaman, dan hubungan diplomatik yang lebih kuat antarnegara akan menjadi pondasi utamanya,” tambahnya.
Namun, para analis memperingatkan bahwa tantangan masih besar. Rencana 20 poin Trump untuk Gaza, yang mencakup demiliterisasi, pembentukan pemerintahan sementara, dan pengawasan bantuan oleh PBB, memerlukan mandat Dewan Keamanan PBB yang belum sepenuhnya terealisasi. Selain itu, ketegangan internal di Gaza—termasuk bentrokan antara Hamas dan kelompok saingan—serta penolakan Israel terhadap partisipasi Turki dalam pasukan stabilisasi, bisa menghambat implementasi. “Ini adalah langkah berani, tapi tanpa komitmen tegas dari semua pihak, gencatan senjata ini bisa rapuh seperti sebelumnya,” kata seorang pakar hubungan internasional dari Universitas George Washington, yang memantau perkembangan pasca-kesepakatan Oktober.
Pengumuman Trump ini juga menandai pergeseran fokus diplomasi Amerika Serikat ke arah Asia Tengah, di mana negara-negara seperti Kazakhstan berperan sebagai jembatan antara Timur Tengah dan Eurasia. Dengan bergabungnya Kazakhstan, Abraham Accords kini melampaui konteks Arab-Israel murni, berpotensi membuka pintu untuk kerjasama di bidang energi, teknologi, dan keamanan. Trump berharap, langkah ini akan mendorong negara-negara lain, termasuk mungkin Saudi Arabia, untuk bergabung dalam waktu dekat.

Sementara itu, di lapangan, upaya rekonstruksi Gaza terus berlangsung meski terhambat. Ribuan keluarga pengungsi masih bergantung pada bantuan terbatas, dengan laporan tentang penembakan Israel terhadap warga yang mendekati “Garis Kuning”—batas penarikan pasukan—menambah ketegangan. Komunitas internasional, termasuk Qatar dan Mesir sebagai mediator utama, terus mendorong dialog untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Inisiatif Trump ini, meski ambisius, diharapkan membawa angin segar bagi proses perdamaian yang telah lama mandek. Namun, hanya waktu yang akan menjawab apakah pasukan stabilisasi dan perluasan Abraham Accords benar-benar mampu mewujudkan visi stabilitas dan keamanan yang dijanjikan di kawasan yang penuh gejolak ini.
Pewarta : Setiawan Wibisono

