
“Industri sawit Indonesia tidak bisa terus bertumpu pada teknologi generasi lama. Efisiensi rendah dan emisi tinggi bukan hanya mengancam daya saing global, tapi juga memperbesar beban lingkungan.”
RI News Portal. Jakarta, Mei 2025 — Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, menekankan urgensi pembaruan teknologi dalam industri kelapa sawit sebagai langkah strategis untuk menciptakan nilai ekonomi yang lebih besar dan dampak lingkungan yang lebih positif. Dalam pernyataannya di sela-sela ajang Palmex Indonesia 2025 yang digelar di Jakarta International Expo, Rabu (14/5), Sahat menyoroti bahwa teknologi pengolahan sawit Indonesia saat ini dinilai sudah usang dan menghasilkan emisi karbon yang tinggi.
“Saya mau ubah teknologi sawit (Indonesia saat) ini, karena (menurut saya) sudah usang, dan emisi karbonnya tinggi,” ujar Sahat.
Sebagai bentuk konkret dari rencana transformasi ini, DMSI telah membuka jalur komunikasi dengan investor asal Tiongkok yang tertarik membangun fasilitas pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak sawit dengan nilai investasi mencapai 9 miliar dolar AS (sekitar Rp149 triliun). Investasi ini dijadwalkan dimulai pada 2026 dan berlangsung selama tujuh tahun ke depan.

Menurut Sahat, investasi tersebut tidak hanya ditujukan untuk modernisasi industri, tetapi juga untuk memberdayakan petani sawit di Indonesia agar memperoleh manfaat ekonomi dari seluruh bagian tanaman, termasuk potensi pemanfaatan limbah seperti tandan kosong dan fiber. Transformasi ini diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus mengubah peran mereka dari sekadar objek produksi menjadi subjek dalam ekosistem industri sawit.
“Tandan dan fiber-nya berharga, sehingga petani bisa kaya. Sekaligus kita mengajari petani, agar mereka tidak hanya menjadi petani, tapi juga menjadi tuan, dari objek berubah menjadi subjek,” tegas Sahat.
Sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, DMSI juga mendorong integrasi mekanisme perdagangan karbon (carbon trading) sebagai bagian dari transformasi industri sawit nasional. Namun, Sahat mengakui bahwa regulasi mengenai otoritas pemberi izin perdagangan karbon masih belum jelas dan memerlukan penguatan tata kelola antar kementerian.
“Asal mereka diberikan kesempatan untuk membeli emisi karbon yang kita turunkan. Karena (kita belum tahu) siapa yang berhak (memberikan izin) emisi karbon ini dijual, izinnya (dari) kementerian mana, itu perlu waktu dan itu yang akan kita lakukan dari DMSI,” jelasnya.
Pernyataan Sahat Sinaga merefleksikan tantangan struktural dan kebijakan dalam pengembangan industri sawit berkelanjutan di Indonesia. Di satu sisi, terdapat kebutuhan mendesak untuk modernisasi teknologi demi efisiensi dan pengurangan emisi; di sisi lain, ekosistem regulasi dan kepastian hukum terkait perdagangan karbon belum sepenuhnya mendukung upaya tersebut.
Transformasi teknologi dan masuknya investasi hijau asing dapat menjadi momentum penting untuk mereformasi industri sawit nasional, asalkan disertai dengan tata kelola yang transparan dan partisipatif, serta perlindungan terhadap kepentingan petani sebagai aktor utama di sektor ini.
Dalam konteks pembangunan ekonomi hijau, studi seperti ini menjadi penting untuk menilai hubungan antara inovasi teknologi, investasi lintas negara, dan keadilan distribusi manfaat ekonomi. Perlu ada sinergi antara sektor publik dan swasta dalam mendesain kebijakan yang mendorong inclusive green growth di sektor agroindustri strategis seperti kelapa sawit.
Pewarta : Yudha Purnama

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal