
“Tawaran Amerika Serikat kepada Suriah untuk bergabung dalam Abraham Accord mencerminkan strategi jangka panjang untuk menetralkan poros perlawanan di Timur Tengah melalui jalur diplomatik, bukan militer.”
RI News Portal. Jakarta 15 Mei 2025 – Dalam rentang dua dekade, lanskap politik Timur Tengah mengalami transformasi yang luar biasa. Salah satu figur kunci yang menandai perubahan tersebut adalah Ahmed Al-Sharaa. Dari mantan buronan paling dicari oleh Amerika Serikat hingga bersalaman dengan Presiden AS di Riyadh pada 14 Mei 2025, perjalanan Al-Sharaa menandai titik balik signifikan dalam hubungan geopolitik Suriah-Amerika Serikat. Tulisan ini menganalisis pergeseran posisi Al-Sharaa dalam konteks perubahan strategis kawasan, serta prospek keterlibatan Suriah dalam Abraham Accord.
Transformasi politik yang dialami oleh Ahmed Al-Sharaa, kini Presiden Republik Suriah, menjadi simbol dari dinamika global yang kian kompleks dan penuh paradoks. Pada 14 Mei 2005, ia ditangkap oleh pasukan Amerika Serikat di Irak atas tuduhan terorisme dan afiliasi dengan kelompok bersenjata anti-Barat. Dua dekade kemudian, pada tanggal yang sama di tahun 2025, ia tampak bersalaman hangat dengan Presiden Donald J. Trump dalam pertemuan bilateral di Riyadh, Arab Saudi. Momen ini menandai perubahan besar dalam politik luar negeri AS serta pergeseran posisi strategis Suriah pasca rezim Bashar al-Assad.

Ahmed Al-Sharaa dikenal sebagai tokoh oposisi militan yang sebelumnya dikategorikan sebagai ancaman keamanan oleh Amerika Serikat. Bahkan, pemerintah AS sempat menawarkan hadiah sebesar 10 juta dolar AS bagi siapa pun yang berhasil menangkapnya. Namun, pasca konflik internal Suriah dan jatuhnya rezim Bashar al-Assad, Al-Sharaa muncul sebagai figur kunci dalam konsolidasi kekuatan oposisi yang kemudian bertransformasi menjadi pemerintahan transisi.
Dengan dukungan regional dari Turki dan Qatar serta proses rekonsiliasi internal yang difasilitasi oleh Liga Arab, Al-Sharaa berhasil membangun legitimasi internasional secara bertahap. Kesuksesannya memimpin rekonstruksi pasca-konflik serta stabilisasi pemerintahan baru menjadikannya tokoh sentral dalam politik regional kontemporer.
Pertemuan antara Al-Sharaa dan Donald Trump di Riyadh pada 14 Mei 2025 menjadi titik kulminasi rekonsiliasi politik antara Suriah dan Amerika Serikat. Dalam pertemuan tersebut, Presiden Trump menyebut Al-Sharaa sebagai “pemimpin sejati” dan memuji kepemimpinannya dalam menjatuhkan rezim Assad. Lebih jauh, Trump menyampaikan harapan agar Suriah di bawah kepemimpinan Al-Sharaa dapat bergabung dalam Abraham Accord —sebuah perjanjian regional yang dimediasi oleh AS untuk normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel.
Baca juga : Menghidupkan Sejarah: Tuan Rondahaim Saragih Kembali Diusulkan sebagai Pahlawan Nasional dari Sumatera Utara
Abraham Accord pertama kali ditandatangani pada 15 September 2020 antara Israel, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, dan kemudian diikuti oleh Maroko dan Sudan. Perjanjian ini mengindikasikan pergeseran paradigma dari konfrontasi ke arah diplomasi pragmatis dalam dunia Arab.
Menanggapi tawaran tersebut, Al-Sharaa menyatakan bahwa meski bersedia mempertimbangkan integrasi Suriah ke dalam perjanjian, negaranya “masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan.” Hal ini mengisyaratkan kehati-hatian Suriah dalam mengambil langkah diplomatik yang sensitif secara historis dan ideologis.
Transformasi Al-Sharaa tidak hanya penting secara simbolik, tetapi juga strategis. Bergabungnya Suriah ke dalam Abraham Accord akan memiliki dampak besar terhadap geopolitik kawasan. Suriah, yang sebelumnya menjadi basis resistensi terhadap Israel dan Barat, kini berpotensi menjadi mitra dalam stabilisasi kawasan.
Namun demikian, tantangan tetap besar. Secara internal, Suriah masih berjuang dengan rekonstruksi ekonomi dan trauma sosial pasca-perang. Secara eksternal, resistensi dari kelompok-kelompok pro-Iran dan rival regional seperti Hizbullah bisa menghambat langkah diplomatik ini.
Ahmed Al-Sharaa merupakan representasi nyata dari perubahan zaman dalam politik Timur Tengah. Dari figur antagonis menjadi tokoh sentral dalam rekonsiliasi kawasan, narasinya mencerminkan bagaimana kepentingan geopolitik dapat mengaburkan batas-batas lama antara “musuh” dan “sekutu”. Langkah Suriah ke arah keterlibatan dalam Abraham Accord, bila terealisasi, akan menjadi tonggak sejarah baru bagi Timur Tengah yang lebih pragmatis dan multilateral.
Pewarta : Yogi Hilmawan

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal