RI News Portal. Wonogiri, 10 November 2025 – Di lereng bukit karst yang hijau subur Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, sungai-sungai kecil sering menjadi ruang rekreasi sederhana bagi warga desa. Namun, pagi Minggu lalu (9/11/2025), Sungai Guno di Desa Guno, Kecamatan Jatiroto, berubah menjadi saksi bisu tragedi yang merenggut nyawa seorang remaja berusia 16 tahun. QNH, warga Dusun Semo, Desa Brenggolo, hanyut dan tenggelam saat berusaha memancing ikan bersama tiga sahabatnya. Kejadian ini bukan hanya duka mendalam bagi keluarga, tapi juga panggilan darurat bagi pemerintah daerah untuk memperkuat langkah pencegahan kecelakaan air di wilayah rawan banjir.
Kronologi tragis itu dimulai sekitar pukul 08.00 WIB, ketika QNH dan ketiga temannya—semuanya remaja seusia—berjalan kaki menuju tepi sungai yang biasa mereka kunjungi untuk melepas penat. Hujan deras semalaman sebelumnya telah mengubah wajah Sungai Guno: airnya meluap, arusnya mengamuk seperti binatang buas yang lapar, dan permukaan batu-batu licin tertutup lumpur tebal. “Mereka hanya ingin menikmati pagi yang sejuk, memancing ikan mujair atau nila yang biasa bersembunyi di kedalaman dangkal,” ungkap Miran S.Sos MM, Camat Jatiroto, dalam pernyataan resminya kepada awak media.
Saat pancingan pertama dilempar, nasib sial menimpa QNH. Kakinya tergelincir di bebatuan basah, tubuhnya terlempar ke pusaran air yang tak terduga. “Ia berteriak sebentar, tapi arus langsung menelannya,” tambah Miran, suaranya bergetar mengenang momen itu. Ketiga temannya, yang juga tak mahir berenang, hanya bisa menatap tak berdaya dari tepi. Rasa takut akan nasib serupa membuat mereka urung mencebur, meski hati nurani mendorong untuk bertindak. Salah seorang dari mereka berlari ke kampung terdekat, berteriak meminta pertolongan. Dalam hitungan menit, puluhan warga desa berbondong-bondong ke lokasi, membawa tali, bambu, dan apa pun yang bisa dijadikan alat bantu. Pencarian berlangsung tegang selama hampir enam jam, dengan suara jeritan dan doa yang bergema di sepanjang tebing sungai.

Pukul 14.00 WIB, tubuh QNH akhirnya muncul ke permukaan, terapung di hilir sekitar 200 meter dari titik kejadian. Beberapa warga pemberani langsung melompat ke air, berjuang melawan arus untuk menariknya ke darat. Sayangnya, saat dievakuasi, remaja itu sudah tak bernyawa. “Tubuhnya dingin, tak ada tanda perlawanan lagi,” kata Suyatni, istri kepala desa Brenggolo, yang turut hadir di lokasi. Jenazah segera dibawa ke rumah duka Dusun Semo, diserahkan kepada keluarga oleh aparat kecamatan, termasuk Camat Miran. Keluarga QNH, yang hidup sederhana dari bertani dan beternak, kini ditinggalkan duka yang dalam—seorang anak sulung yang bercita-cita melanjutkan pendidikan ke kota.
Kematian QNH bukanlah insiden terisolasi di Wonogiri, wilayah yang dikelilingi jaringan sungai dan waduk raksasa seperti Gajah Mungkur. Data dari Dinas Kesehatan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat mencatat setidaknya lima kasus serupa sepanjang 2025, di mana remaja menjadi korban utama akibat kurangnya pengawasan dan keterampilan dasar bertahan di air. Faktor musim hujan memperburuk situasi: curah hujan di Jatiroto mencapai 150 milimeter per hari, memicu luapan sungai yang tak terduga. “Banyak anak desa melihat sungai sebagai taman bermain, tapi kita lupa bahwa ia juga predator diam,” ujar Dr. Rina Susanti, pakar keselamatan anak dari Universitas Sebelas Maret (UNS), yang meneliti kecelakaan air di Jawa Tengah selama tiga tahun terakhir.
Penelitian Susanti, yang diterbitkan dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia edisi terbaru, mengungkap pola mencolok: 70 persen korban remaja berusia 14-17 tahun tidak pernah mengikuti pelatihan renang, sementara 60 persen kejadian terjadi di sungai desa akibat permukaan licin pasca-hujan. “Ini bukan sekadar kelalaian individu, tapi kegagalan sistemik. Desa-desa seperti Brenggolo dan Guno kekurangan rambu peringatan, pos pengawas, atau bahkan program edukasi rutin,” tegasnya. Studi serupa dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah menunjukkan bahwa Wonogiri memiliki tingkat kecelakaan air dua kali lipat dibanding kabupaten tetangga, dengan dampak ekonomi tak terhitung: kehilangan tenaga kerja muda dan beban psikologis bagi komunitas.
Miran, sebagai camat, mengakui tantangan ini. “Kami sudah berkoordinasi dengan Koramil dan Polsek Jatiroto untuk patroli rutin, tapi anggaran terbatas. Butuh dukungan provinsi untuk membangun tanggul sementara dan sekolah renang gratis.” Sementara itu, keluarga QNH menerima dukungan dari tetangga: doa bersama di masjid desa, bantuan sembako, dan janji gotong royong untuk makamnya. Ayah QNH, seorang petani padi, hanya bisa bergumam, “Ia bilang mau bawa ikan segar pulang untuk ibu. Kini, yang pulang hanya kenangan.”
Tragedi ini menggugat kita semua: bagaimana menjaga generasi muda dari pesona alam yang mematikan? Pemerintah daerah Wonogiri berjanji mempercepat program “Air Aman Desa” mulai 2026, termasuk pelatihan renang wajib untuk siswa SD-SMP dan pemasangan sensor banjir di sungai rawan. Namun, seperti kata Susanti, “Pencegahan dimulai dari rumah: ajari anak berenang sebelum terlambat.” Di tengah guyuran hujan yang masih mengintai, Sungai Guno kini diam, tapi pelajarannya harus bergema—agar tak ada lagi pagi yang berakhir dengan air mata.
Pewarta : Nandar Suyadi

