RI News Portal. Mendoyo, 9 November 2025 – Malam Sabtu yang seharusnya menjadi jeda tenang bagi para pekerja di kawasan industri Jembrana berubah menjadi mimpi buruk di Jalur Tengkorak Denpasar-Gilimanuk. Sekitar pukul 22.25 WITA, tepat di depan Mapolsek Mendoyo, sebuah sepeda motor Honda Scoopy bernomor polisi DK 6906 ZL oleng saat upaya mendahului kendaraan di depannya. Naas, dari arah berlawanan melintas truk kontainer yang diduga dikawal petugas pengawas lalu lintas (PJR). Tubuh penumpang motor, Dwi Puryani (24), terlindas hingga hancur dan meninggal seketika di tempat kejadian. Sementara pengemudi, Vonylia Jalianti (24), selamat meski mengalami luka parah di berbagai bagian tubuh dan segera dilarikan ke Puskesmas Mendoyo untuk perawatan intensif.
Kedua korban adalah karyawan PT Mitra Prodin, perusahaan pengolahan produk yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal di Kecamatan Melaya. Vonylia, warga asal Gilimanuk, dan Dwi, yang berasal dari Temuguruh, Banyuwangi, Jawa Timur, sedang dalam perjalanan pulang dari shift malam. Motor mereka bergerak dari arah barat menuju timur, melintasi segmen jalan yang dikenal rawan karena lalu lintas padat dan minim penerangan. Saksi mata di lokasi menggambarkan adegan yang mengerikan: “Motornya tiba-tiba oleng, jatuh ke jalur lawan, dan truk itu datang terlalu cepat. Suaranya seperti petir di malam gelap,” ujar seorang sopir truk lain yang kebetulan melintas tak lama setelah insiden.
Yang lebih menyedihkan, truk kontainer tersebut kabur ke arah timur usai kejadian, meninggalkan korban dalam kondisi sekarat. Meski dikawal seorang petugas PJR, kendaraan berat itu lenyap begitu saja, memicu kemarahan warga setempat. Aparat Polsek Mendoyo langsung bergerak cepat, melakukan pengejaran intensif. Hingga pagi ini, Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Jembrana masih melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) sambil mengejar pelaku kabur. “Kami prioritas penangkapan sopir truk dan pendampingnya. Kasus ini bisa berkembang menjadi tabrak lari dengan unsur kelalaian pengawasan,” kata seorang sumber di Polres Jembrana yang enggan disebut namanya, karena penyelidikan masih berlangsung.

Kisah ini bukan sekadar berita duka; ia menjadi cermin kelam dari realitas Jalur Tengkorak, julukan yang melekat pada Jalan Raya Denpasar-Gilimanuk sejak dekade lalu. Segmen ini, yang membentang sepanjang puluhan kilometer di wilayah Jembrana, telah menjadi makam bagi ratusan jiwa. Data internal Satlantas Polres Jembrana mencatat, sejak Januari hingga akhir Oktober 2025, setidaknya 385 kecelakaan lalu lintas terjadi di kabupaten ini, dengan 38 korban jiwa—sebagian besar di jalur nasional ini. Angka itu menurun tipis dari tahun sebelumnya, tapi trennya tetap mengkhawatirkan: rata-rata 20-40 insiden per bulan, didominasi oleh tabrakan antara kendaraan ringan dan truk besar.
Penyebab utamanya? Human error mendominasi, seperti kelelahan pengemudi, kecepatan berlebih, dan manuver mendadak di kondisi jalan yang rusak. Tambahan faktor lingkungan—lubang menganga, tikungan tajam, dan penerangan minim di malam hari—membuatnya semakin mematikan. “Jalur ini seperti ular raksasa yang siap melahap siapa saja yang lengah. Truk kontainer sering kali melaju tanpa pengawasan ketat, sementara pekerja seperti Vonylia dan Dwi terjebak rutinitas malam yang melelahkan,” jelas Dr. Ni Made Ayu, pakar keselamatan transportasi dari Universitas Udayana, yang telah meneliti pola kecelakaan di Bali Barat selama lima tahun terakhir.
Baca juga : Kemenekraf Fasilitasi Dialog Nasional Fotografi untuk Jembatani Etika dan Ekonomi Kreatif
Studi Ayu, yang diterbitkan dalam Jurnal Transportasi Indonesia tahun lalu, menyoroti pola serupa: 60 persen kecelakaan fatal melibatkan pekerja sektor industri yang pulang malam, dengan 70 persen disebabkan oleh interaksi antara motor dan kendaraan berat. “Ini bukan soal nasib buruk, tapi kegagalan sistemik. Kurangnya rest area malam, pengawasan PJR yang longgar, dan infrastruktur yang tak kunjung diperbaiki sejak era pasca-pandemi,” tambahnya. Di Jembrana, di mana pariwisata dan industri logistik tumbuh pesat, beban jalur ini semakin berat. Truk pengangkut barang dari pelabuhan Gilimanuk ke Denpasar membanjiri jalan setiap hari, sementara pekerja migran seperti Dwi—yang datang dari Jawa untuk mencari rezeki—menjadi korban paling rentan.
Kematian Dwi bukan hanya statistik; ia adalah kehilangan bagi keluarga yang menanti kabar baik dari tanah Bali. Vonylia, yang kini berjuang di ruang ICU Puskesmas, ditemui kerabatnya yang berharap ia pulih untuk menceritakan kisahnya sendiri. Sementara itu, warga Melaya mulai bersuara: demonstrasi kecil di depan polsek menuntut peningkatan patroli malam dan perbaikan jalan segera. “Kami tak mau jalur ini terus jadi pembunuh diam-diam. Korban selanjutnya bisa anak kami,” kata I Wayan Sukarma, tokoh masyarakat setempat.
Pagi ini, saat matahari terbit di ufuk timur, Jalur Tengkorak kembali ramai. Tapi di balik hiruk-pikuknya, ada doa untuk Dwi dan harapan agar Vonylia bangkit. Lebih dari itu, ada panggilan mendesak untuk aksi nyata: bukan sekadar olah TKP, tapi reformasi keselamatan yang menyelamatkan nyawa sebelum tragedi berikutnya mengetuk. Hingga keterangan resmi polisi dirilis, misteri truk kabur itu tetap menggantung—sebuah pengingat bahwa di balik statistik, ada cerita manusia yang tak tergantikan.
Pewarta : Kade (NAL)

