
RI News Portal. Cirebon, 31 Mei 2025 – Peristiwa longsor maut kembali menimpa wilayah pertambangan galian C di Kabupaten Cirebon, tepatnya di Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang. Berdasarkan laporan resmi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), jumlah korban jiwa akibat bencana ini bertambah menjadi sepuluh orang, dengan dua di antaranya masih dalam proses identifikasi.
Informasi tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari. “Dari sepuluh korban meninggal dunia, dua di antaranya masih dalam proses identifikasi,” ujar Muhari dalam siaran pers yang diterima tvrinews.com pada Jumat (30/5). Di samping itu, enam korban luka-luka telah mendapatkan penanganan medis di RS Sumber Hurip dan sejumlah fasilitas layanan kesehatan primer di sekitar lokasi.
Bencana terjadi di area yang selama ini dikenal sebagai kawasan pertambangan aktif. Hasil kaji cepat sementara menyebutkan bahwa tiga unit alat berat ekskavator dan enam unit truk pengangkut material turut tertimbun longsoran. Cuaca cerah di lokasi menjadi faktor pendukung kelancaran proses pencarian dan evakuasi, yang dilakukan oleh unsur gabungan terdiri dari BPBD, TNI, Polri, Basarnas, serta masyarakat lokal.

Operasi SAR dihentikan sementara pada pukul 17.00 WIB dan direncanakan dilanjutkan pada hari berikutnya. “Keselamatan personel tetap menjadi prioritas utama. Kami juga terus mengantisipasi kemungkinan longsor susulan, terutama jika terjadi hujan dengan durasi lebih dari satu jam,” tegas Muhari.
Tragedi ini mengangkat kembali persoalan lama terkait regulasi dan pengawasan aktivitas pertambangan, khususnya tambang galian C yang sering kali berada di zona rawan bencana. Beberapa studi menunjukkan bahwa lemahnya penegakan regulasi dan minimnya audit lingkungan menjadi faktor pemicu kerentanan ekologis. Dalam konteks Gunung Kuda, belum ada informasi rinci apakah kegiatan tambang di lokasi tersebut memiliki AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang sah dan diawasi secara ketat oleh pemerintah daerah maupun instansi terkait.
Menurut data Kementerian ESDM, perizinan tambang galian C sering kali berada dalam ranah pemerintah kabupaten/kota, namun dalam praktiknya kerap kali terjadi tumpang tindih kewenangan dan lemahnya pengawasan lapangan. Hal ini berpotensi menyebabkan kelalaian dalam pengelolaan risiko bencana geologis seperti longsor, terlebih di kawasan dengan struktur tanah labil dan kemiringan ekstrem.
Tragedi ini bukan hanya menjadi catatan duka, melainkan juga alarm bagi pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya kesiapsiagaan berbasis risiko. Peringatan dini terhadap hujan deras, edukasi evakuasi mandiri, serta integrasi kebijakan tata ruang berbasis mitigasi bencana harus menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan daerah.
Selain itu, aspek etika pembangunan juga perlu dikedepankan. Kegiatan ekonomi seperti pertambangan semestinya tidak boleh mengorbankan keselamatan jiwa manusia. Prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis mesti menjadi landasan dalam pengambilan keputusan investasi sektor ekstraktif, terutama di wilayah yang dihuni oleh komunitas rentan.
Peristiwa longsor di Gunung Kuda menjadi cermin nyata dari kerentanan struktural dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Diperlukan evaluasi serius terhadap izin tambang aktif, penguatan koordinasi antar-lembaga, serta implementasi strategi mitigasi berbasis data dan partisipasi masyarakat. Tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola, potensi tragedi serupa akan terus membayangi wilayah-wilayah rawan bencana.
Pewarta : Galih Prayudi

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal