RI News Portal. Denpasar, 8 November 2025 – Kawasan Sanur bukan sekadar pantai berpasir putih yang menjadi magnet wisatawan, melainkan denyut nadi fiskal Kota Denpasar. Wali Kota I Gusti Ngurah Jaya Negara mengungkapkan, dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp2 triliun, Sanur menyumbang 32 persen atau setara Rp640 miliar. Angka ini menegaskan posisi Sanur sebagai destinasi wisata unggulan yang menopang perekonomian ibu kota Provinsi Bali.
“Sanur ibarat jantung bagi Pemerintah Kota Denpasar. Agar jantung ini tetap berdetak kuat, kita wajib menjaganya secara kolektif,” ujar Jaya Negara saat ditemui di Denpasar, Sabtu (8/11).
Pernyataan tersebut bukan retorika kosong. Sanur telah menjadi penopang utama PAD melalui pajak hotel, restoran, dan retribusi pariwisata. Kontribusi sebesar Rp640 miliar menunjukkan ketergantungan struktural ekonomi lokal terhadap satu kawasan, sekaligus menyoroti kerentanan jika pengelolaan tidak berkelanjutan.
Pemerintah Kota Denpasar tidak tinggal diam. Serangkaian intervensi strategis tengah dijalankan untuk mempertahankan daya saing Sanur. Penataan jogging track di kawasan Danau Tamblingan menjadi prioritas, disertai relokasi kabel udara ke sistem Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT). Langkah ini bertujuan menciptakan ruang publik yang estetis sekaligus fungsional.

“Kami juga memperbaiki drainase dan jalan utama. Namun, keberhasilan ini bergantung pada kepatuhan masyarakat, misalnya dengan tidak parkir sembarangan di jalur utama,” tambah Jaya Negara.
Rencana shuttle listrik keliling sepanjang koridor Sanur diharapkan menjadi solusi mobilitas ramah lingkungan, mengurangi kemacetan, dan meningkatkan pengalaman wisatawan. Pendekatan ini mencerminkan paradigma smart tourism yang mengintegrasikan infrastruktur fisik dengan perilaku sosial.
Di sisi lain, elemen atraksi tetap menjadi variabel krusial dalam ekosistem pariwisata. Sanur Festival Ke-18 yang digelar di Pantai Muntig Siokan pada Jumat malam (7/11) mendapat apresiasi khusus dari Wali Kota. Event tahunan ini tidak hanya memperkaya kalender wisata, tetapi juga memperkuat identitas budaya lokal sebagai nilai jual.
“Kegiatan semacam ini langsung berdampak pada okupansi hotel, kunjungan UMKM, dan perputaran uang di sektor informal,” papar Jaya Negara.
Baca juga : Pekan ICH Wayang dan Gamelan 2025: Momentum Regenerasi dan Ekonomi Budaya di Surakarta
Festival tersebut menampilkan seni tradisional, kuliner khas, dan pameran kerajinan, yang secara empiris terbukti meningkatkan lama tinggal wisatawan—indikator kunci dalam multiplier effect pariwisata.
Meski demikian, Sanur menghadapi tantangan klasik: tekanan lingkungan akibat kepadatan pengunjung, degradasi pantai, dan persaingan dengan destinasi baru di Bali utara. Jaya Negara menekankan pentingnya tata kelola kolaboratif.
“Pemerintah saja tidak cukup. Pengusaha harus berkomitmen pada standar lingkungan, masyarakat harus aktif menjaga kebersihan, dan wisatawan perlu diedukasi tentang pariwisata berkelanjutan,” tegasnya.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip community-based tourism yang menempatkan warga sebagai subjek, bukan objek, pembangunan pariwisata.

Dengan kontribusi 32 persen terhadap PAD, Sanur bukan lagi sekadar aset wisata, melainkan instrumen fiskal strategis. Keberhasilan menjaga “jantung” ini akan menentukan stabilitas ekonomi Denpasar di tengah fluktuasi industri pariwisata global.
Pemerintah Kota Denpasar telah menyiapkan fondasi melalui infrastruktur dan atraksi. Kini, bola ada di tangan semua pemangku kepentingan untuk memastikan Sanur tidak hanya bertahan, tetapi terus berkembang sebagai destinasi kelas dunia yang ramah lingkungan dan inklusif.
Pewarta : Kade N. A. L

