RI News Portal. Jakarta – Pakar telematika Roy Suryo menampilkan ketenangan yang mencolok saat menghadapi penetapan statusnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terkait tudingan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo. Di kawasan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta, pada Jumat kemarin, Roy memilih untuk tersenyum sambil menyerahkan sepenuhnya proses hukumnya kepada tim kuasa hukum. Respons ini tidak hanya mencerminkan pendekatan filosofis terhadap proses peradilan, tetapi juga mengundang refleksi lebih dalam tentang dinamika informasi digital di era pasca-kebenaran.
“Status tersangka itu masih harus kita hormati. Sikap saya? Senyum saja. Tersangka hanyalah salah satu proses. Masih ada tahap selanjutnya, seperti menjadi terdakwa, baru kemudian terpidana jika proses berlanjut,” ungkap Roy dengan nada yang tenang, seolah-olah sedang membahas tahapan evolusi data digital daripada tuntutan pidana. Pernyataan ini disampaikannya usai menghadiri pemeriksaan di lingkungan kepolisian, di mana ia juga menyemangati tujuh individu lain yang terlibat dalam kasus serupa. “Saya tetap mengajak semua yang terdampak untuk tegar. Ini bagian dari dinamika demokrasi kita,” tambahnya, menekankan pentingnya ketahanan mental di tengah tekanan hukum.
Sebagai mantan Menteri Pemuda dan Olahraga yang dikenal dengan keahliannya di bidang telematika—ilmu yang memadukan telekomunikasi dan informatika—Roy telah lama menjadi figur sentral dalam diskursus tentang keaslian data elektronik. Tuduhan yang kini menjeratnya, termasuk dugaan manipulasi dan penyebaran informasi palsu melalui saluran digital, ironisnya justru menyentuh ranah keahliannya sendiri. Roy, yang sering kali menjadi narasumber untuk memverifikasi keaslian video atau dokumen digital, kini berada di posisi terbalik: menjadi subjek verifikasi forensik digital. Dalam wawancara singkat pasca-pemeriksaan, ia menolak untuk berspekulasi tentang langkah hukum lanjutan. “Saya akan berdiskusi dengan tim kuasa hukum terlebih dahulu. Tidak bisa berbicara sendiri; kita ikuti nasihat para ahli,” katanya, menunjukkan pendekatan yang rasional dan kolektif.

Penetapan delapan tersangka ini, yang diumumkan oleh Kepala Polda Metro Jaya Irjen Pol. Asep Edi Suheri pada konferensi pers Jumat siang, menandai babak baru dalam penyidikan yang telah berlangsung sejak laporan Jokowi diajukan beberapa bulan lalu. Asep menekankan bahwa proses ini didasari pada prinsip ilmiah dan komprehensif, melibatkan pemeriksaan terhadap 130 saksi serta 22 ahli dari berbagai disiplin, termasuk forensik digital, sosiologi hukum, dan linguistik. “Ini bukan sekadar penegakan hukum, tapi juga upaya melindungi integritas informasi publik,” ujar Asep, sambil membagi tersangka ke dalam dua kelompok berdasarkan pola keterlibatan mereka.
Kelompok pertama, yang mencakup lima individu, difokuskan pada unsur penghasutan dan penyebaran ujaran kebencian, dengan dakwaan mencakup Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta beberapa pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sementara itu, kelompok kedua—yang melibatkan Roy beserta dua orang lainnya—dihadapkan pada tuduhan lebih spesifik terkait edit dan manipulasi data elektronik, termasuk Pasal 32 dan 35 UU ITE yang mengatur integritas dokumen digital. Asep menambahkan bahwa barang bukti seperti flashdisk berisi tautan video dan tangkapan layar konten telah dianalisis di laboratorium forensik, termasuk ijazah asli Jokowi yang disita untuk verifikasi.
Kasus ini bukanlah yang pertama kali menyeret figur publik ke ranah hukum digital di Indonesia. Sejak UU ITE diberlakukan, berbagai tuntutan serupa telah muncul, sering kali memicu perdebatan tentang batas antara kritik politik dan fitnah. Dalam konteks akademis, kasus ini menawarkan studi kasus berharga tentang bagaimana tudingan palsu dapat menyebar melalui jaringan telematika, di mana kecepatan informasi sering kali mengalahkan verifikasi. Menurut perspektif telematika yang dipelopori oleh para ahli seperti Roy sendiri, manipulasi data elektronik bukan hanya isu teknis, melainkan ancaman terhadap fondasi demokrasi berbasis informasi. “Di era di mana setiap dokumen bisa direkayasa dalam hitungan detik, kita butuh literasi digital yang lebih kuat,” demikian Roy pernah menyatakan dalam forum sebelumnya—sebuah pernyataan yang kini terasa profetik.
Hingga kini, proses penyidikan masih berlangsung, dengan kemungkinan eskalasi ke pengadilan jika bukti-bukti terpenuhi. Roy, yang dikenal dengan senyumnya yang ikonik bahkan di saat krisis, tampaknya siap menghadapi tahap apa pun. Responsnya yang tenang ini, setidaknya, mengingatkan kita bahwa di balik gemuruh tuduhan, proses hukum tetap menuntut kesabaran dan keadilan. Saat mata publik tertuju pada kelanjutan kasus ini, pertanyaan yang lebih luas muncul: bagaimana kita sebagai masyarakat digital menjaga keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan tanggung jawab atas kata-kata yang kita sebarkan? Jawabannya, mungkin, dimulai dari sikap sederhana: tersenyum di tengah badai.
Pewarta : Yudha Purnama

