
“Penggunaan SiLPA tanpa pengesahan dalam APBDes bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga berpotensi menjadi pintu masuk praktik koruptif di level desa. Kunci utama pengelolaan keuangan desa adalah transparansi dan akuntabilitas, bukan sekadar realisasi anggaran.”
RI News Portal. Sragen, Mei 2025 – Sebuah proyek infrastruktur desa berupa pembangunan gorong-gorong di Dusun Grigit RT 18, Desa Karangtalun, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen, tengah menjadi sorotan publik dan akademisi. Proyek tersebut dilaksanakan pada tahun anggaran 2025 dengan pembiayaan dari dua sumber pendanaan berbeda, yaitu Dana Desa Tahun 2025 sebesar Rp 22.300.000 dan Dana Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun 2024 sebesar Rp 18.639.000.
Praktik ini memunculkan pertanyaan serius terkait kepatuhan terhadap regulasi keuangan desa, mengingat tidak terdapat pemisahan Rencana Anggaran Biaya (RAB) antara kedua sumber dana tersebut. Hal ini berpotensi melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas yang diatur dalam kerangka hukum pengelolaan Dana Desa.
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72, Dana Desa wajib dikelola berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif. Sementara itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2018 menegaskan pada Pasal 75 bahwa penggunaan SiLPA harus disahkan terlebih dahulu melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) pada tahun berjalan setelah dilakukan Musyawarah Desa (Musdes).
Lebih lanjut, Permendes PDTT No. 21 Tahun 2023 menekankan larangan terhadap praktik double budgeting (pembiayaan ganda) dan mendorong adanya prioritas yang jelas dalam penggunaan Dana Desa. Dalam konteks ini, ketidakhadiran RAB terpisah yang mendetail antara Dana Desa 2025 dan SiLPA 2024 dapat menimbulkan kerancuan dan dugaan pembiayaan dobel atas item pekerjaan yang sama.
Beberapa indikasi potensi pelanggaran dalam pelaksanaan proyek ini dapat diuraikan sebagai berikut:
- Penyalahgunaan SiLPA
Penggunaan Dana SiLPA 2024 tanpa bukti pengesahan melalui Musdes dan pencantuman dalam APBDes 2025 merupakan pelanggaran terhadap prosedur keuangan negara, serta membuka ruang terhadap dugaan penyimpangan administratif. - Pembiayaan Ganda (Double Budgeting)
Ketiadaan dokumen pemisah antara dua sumber dana tersebut mengindikasikan kemungkinan adanya pembiayaan berulang terhadap pekerjaan yang sama. Praktik ini bertentangan dengan asas efisiensi anggaran publik. - Kesesuaian Waktu Pelaksanaan
Seluruh pelaksanaan proyek dilakukan pada tahun 2025, meskipun sebagian dana bersumber dari anggaran tahun sebelumnya (2024). Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang validitas legal pengalokasian dan pelaporan keuangan, khususnya dalam konteks penggunaan SiLPA yang seharusnya hanya digunakan untuk kegiatan lanjutan, bukan proyek baru.
Jika terbukti bahwa penggunaan Dana SiLPA tidak melalui prosedur formal yang sah, maka pihak-pihak yang terlibat dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut menyebutkan bahwa:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan… dapat merugikan keuangan negara.”
Selain itu, sanksi administratif juga dapat dijatuhkan kepada kepala desa dan perangkat desa yang terbukti lalai atau melakukan penyimpangan, sebagaimana diatur dalam PP No. 12 Tahun 2019 dan berbagai regulasi teknis lainnya.
Untuk menghindari terulangnya kasus serupa dan memastikan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa, sejumlah tindakan korektif berikut perlu segera dilakukan:
- Audit Investigatif
Melalui Inspektorat Kabupaten Sragen dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), guna memastikan tidak terjadi kerugian negara. - Verifikasi Legalitas APBDes
Pemeriksaan terhadap dokumen APBDes 2025, termasuk revisi atau perubahan yang berkaitan dengan penggunaan Dana SiLPA. - Peningkatan Kapasitas Aparatur Desa
Dalam hal pemahaman terhadap regulasi keuangan dan etika anggaran, untuk mencegah kekeliruan administratif dan hukum di masa mendatang. - Pengawasan Masyarakat dan BPD
Badan Permusyawaratan Desa dan elemen masyarakat perlu meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap setiap proyek desa, terutama yang melibatkan lebih dari satu sumber pembiayaan.
Pernyataan dari konsultan teknis proyek, Pak Edi, bahwa persoalan tumpang tindih anggaran merupakan tanggung jawab Kepala Urusan Perencanaan, menunjukkan adanya fragmentasi koordinasi dalam perencanaan desa. Hal ini mencerminkan pentingnya penataan sistem perencanaan terpadu dan akuntabel di tingkat desa.
Meskipun secara prinsip penggunaan Dana Desa dan SiLPA tidaklah dilarang, ketaatan terhadap prosedur hukum dan regulasi penganggaran adalah prasyarat mutlak dalam tata kelola pemerintahan desa yang baik. Ketidakpatuhan terhadap prosedur tersebut tidak hanya berpotensi melanggar hukum, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan desa.
Pewarta : Nandang Bramantyo

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal