RI News Portal. Jakarta, 20 November 2025 – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Kepolisian Republik Indonesia, khususnya Detasemen Khusus 88 Antiteror, atas keberhasilan pengungkapan praktik sistematis perekrutan anak-anak oleh kelompok terorisme melalui ek18 ruang digital. Pengungkapan ini dinilai sebagai intervensi krusial yang berhasil memutus mata rantai radikalisasi terhadap anak di bawah umur.
Dalam konferensi pers bertajuk “Penanganan Rekrutmen Secara Online terhadap Anak-anak oleh Kelompok Terorisme” yang digelar Rabu (19/11) kemarin, KPAI menegaskan bahwa tindakan cepat dan terkoordinasi antara Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta berbagai pemangku kepentingan lainnya telah menyelamatkan masa depan ratusan anak dari ancaman ideologi ekstrem.
Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah menyatakan, keberhasilan ini mencerminkan kehadiran negara yang nyata dalam melindungi anak sebagai kelompok rentan dari paparan doktrin kekerasan.

“Operasi ini bukan sekadar penegakan hukum biasa, melainkan misi penyelamatan generasi. Kami mengapresiasi kerja keras seluruh aparat yang berhasil memutus akses kelompok terorisme terhadap anak-anak Indonesia di ranah daring,” ungkap Margaret.
Data yang dipaparkan tim Polri menunjukkan lebih dari 110 anak di 26 provinsi menjadi target perekrutan melalui berbagai kanal digital, mulai dari media sosial populer, permainan daring, hingga grup komunikasi tertutup yang sulit terdeteksi. Modus yang digunakan terdeteksi semakin canggih, memanfaatkan algoritma dan psikologi remaja untuk membangun ikatan emosional sebelum menyuntikkan narasi radikal.
KPAI menegaskan bahwa seluruh proses penanganan terhadap anak-anak yang terpapar dilakukan dengan pendekatan berbasis hak anak, sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak diterapkan secara konsisten melalui mekanisme diversi, pendekatan keadilan restoratif, pendampingan psikologis intensif, serta jaminan perlakuan manusiawi.
“Anak-anak ini adalah korban, bukan pelaku. Mereka dieksploitasi secara psikologis dan ideologis. Oleh karena itu, pendekatan represif tidak pernah menjadi opsi. Yang kami kedepankan adalah pemulihan dan perlindungan hak-hak dasar mereka,” tegas Margaret.
Baca juga : Polres Wonogiri Gelar Wisuda Purna Bakti: Penghormatan bagi 22 Bhayangkara yang Akhiri Pengabdian
Lebih lanjut, KPAI menyoroti urgensi penguatan sistem pendukung di tingkat terkecil masyarakat. Keluarga disebut sebagai benteng pertahanan pertama yang harus aktif mengenali perubahan perilaku anak di dunia digital. Sekolah dan komunitas lingkungan juga diminta meningkatkan pengawasan serta memberikan edukasi literasi digital yang kontekstual terhadap ancaman radikalisme.
“Anak-anak kita hidup di era di mana informasi ekstrem bisa masuk hanya dengan satu klik. Orang tua harus menjadi teman diskusi, bukan pengawas yang menakutkan. Sekolah harus mengintegrasikan pendidikan perdamaian dan kritis berpikir dalam kurikulum. Ini bukan lagi pilihan, melainkan keharusan,” ujarnya.

Margaret menutup pernyataan dengan menegaskan bahwa keberhasilan pengungkapan jaringan rekrutmen anak ini harus menjadi titik balik bagi penguatan sinergi nasional lintas sektor.
“Polri telah membuktikan kemampuan luar biasa dalam mengantisipasi ancaman di ranah siber. Kini giliran kita semua—keluarga, pendidik, masyarakat, dan pemerintah—memastikan perlindungan anak dari radikalisasi digital berlangsung secara berkelanjutan. Satu anak yang terselamatkan berarti satu masa depan bangsa yang terjaga,” pungkasnya.
Pewarta : Nandang Bramantyo

