
“Setiap pungutan oleh pemerintah atau aparatnya wajib didasarkan pada kewenangan hukum yang sah. Tanpa dasar hukum, maka pungutan tersebut dapat dikategorikan sebagai pungli dan bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum administrasi negara.”
RI News Portal. Lampung Barat 15 Mei 2025 – Polemik terkait penarikan retribusi di Pasar Tematik Lampung Barat telah mencuat ke ruang publik menyusul dugaan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang belum tercatat secara resmi. Dalam konteks tata kelola keuangan daerah dan prinsip good governance, kasus ini mencerminkan persoalan serius terkait akuntabilitas, transparansi, dan potensi pelanggaran hukum administratif. Artikel ini menganalisis dinamika polemik tersebut dari aspek regulatif, kelembagaan, dan etik birokrasi, serta implikasi hukum yang dapat ditimbulkan.
Pemerintah daerah memiliki mandat untuk mengelola sumber daya publik secara transparan dan bertanggung jawab, terutama dalam hal pengumpulan dan pemanfaatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, kasus terbaru yang mencuat di Kabupaten Lampung Barat, tepatnya pada proyek Pasar Tematik, menunjukkan indikasi kebocoran PAD yang berpotensi menyalahi prinsip pengelolaan keuangan publik.

Proyek Pasar Tematik yang menelan anggaran hingga Rp 70 miliar ini ternyata telah memungut retribusi dari pengunjung, padahal status proyek tersebut masih berada dalam masa pemeliharaan dan belum dilakukan serah terima dari kontraktor ke pemerintah daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: ke mana aliran dana dari retribusi tersebut ?
Berdasarkan temuan aktivis sosial Sumarlin, retribusi yang dikenakan kepada pengunjung Pasar Tematik mencakup:
- Tiket masuk per pengunjung: Rp 5.000
- Kendaraan roda dua: Rp 5.000
- Mobil pribadi: Rp 20.000
- Motor sandar: Rp 20.000
- Sewa kotek (gazebo) per dua jam: Rp 50.000
- Karcis buang air kecil: Rp 20.000
Dengan jumlah pengunjung yang mencapai lebih dari 30.000 orang selama masa operasional, potensi PAD yang seharusnya masuk ke kas daerah mencapai ratusan juta rupiah. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan atas pencatatan dan penyetoran dana tersebut ke kas daerah.
Baca juga : Joko Widodo Pertimbangkan Pencalonan sebagai Ketua Umum PSI: Politik Pasca-Kepresidenan
Dalam perspektif hukum administrasi negara, setiap pungutan oleh otoritas publik harus memiliki dasar hukum yang jelas, baik dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Kepala Daerah. Penarikan retribusi di luar kerangka hukum yang sah dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) yang melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Sumarlin menilai praktik ini sebagai bentuk pungli yang terorganisir, terutama karena penggunaan nama Karang Taruna sebagai pelaksana teknis penarikan retribusi, yang seolah menjadi “kambing hitam” oleh pihak-pihak berwenang. Dugaan adanya perintah lisan dari mantan Pj. Bupati kepada Camat setempat juga menunjukkan pola birokrasi informal yang bertentangan dengan prinsip tertib administrasi dan tanggung jawab jabatan publik.
Sikap saling lempar tanggung jawab antar pejabat publik juga menimbulkan krisis etika birokrasi. Pernyataan seorang kepala dinas yang justru menunjukkan sikap menghindar dari tanggung jawab menunjukkan lemahnya koordinasi dan transparansi dalam pengambilan kebijakan publik. Hal ini diperburuk dengan sulitnya akses media untuk memperoleh konfirmasi langsung dari Camat Lombok, Erwin, yang disebut-sebut sebagai pelaksana teknis di lapangan.

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi Lampung. Aktivis mendesak pembentukan tim gabungan yang terdiri dari Inspektorat Daerah, Kepolisian, dan Kejaksaan, guna melakukan investigasi menyeluruh. Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) yang sudah dibentuk diharapkan segera turun tangan mengusut aliran dana serta memeriksa pejabat terkait, termasuk Camat Lombok Seminung.
Polemik ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi menyangkut kredibilitas pemerintahan daerah dalam menjalankan prinsip good governance. Ketiadaan transparansi, lemahnya kontrol internal, dan indikasi praktik pungli menunjukkan bahwa perlu adanya pembenahan menyeluruh, baik dari sisi regulasi, pengawasan, maupun etika pemerintahan. Jika tidak ditangani secara serius, kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam pengelolaan keuangan publik di tingkat daerah.
Pewarta : IF ( Team )

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal