
“Dalam sistem demokrasi, negara memiliki kewenangan untuk menggunakan kekuatan secara sah guna menjaga ketertiban umum, namun penggunaan kekuatan tersebut harus selalu proporsional, akuntabel, dan berbasis hukum positif.”
(Dr. Arief Budiman, Pakar Hukum Pidana Universitas Diponegoro)
RI News Portal. Semarang, 03-Mei-2025 – Penyelidikan aparat kepolisian terhadap kericuhan dalam aksi unjuk rasa Hari Buruh Internasional (Mayday) pada Kamis, 1 Mei 2025 di Kota Semarang menunjukkan adanya keterlibatan kelompok anarko yang berujung pada penetapan enam tersangka. Insiden ini menandai pentingnya penguatan instrumen keamanan publik dalam menghadapi dinamika gerakan massa kontemporer yang berpotensi menimbulkan gangguan ketertiban umum.
Kepala Kepolisian Resor Kota Besar (Kapolrestabes) Semarang, Kombes Pol M. Syahduddi, didampingi Kepala Satuan Reserse Kriminal AKBP Andika Dharma Sena, menyampaikan bahwa keenam tersangka telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 214 KUHP tentang perlawanan terhadap aparat penegak hukum, dengan subsider Pasal 170 KUHP mengenai tindak kekerasan terhadap orang atau barang secara bersama-sama. “Mereka memiliki peran yang berbeda-beda, mulai dari menyusun skenario rusuh, merusak fasilitas publik, hingga menyerang petugas dengan benda-benda berbahaya,” ujar Syahduddi dalam konferensi pers pada Sabtu (4/5).

Identifikasi terhadap para tersangka menunjukkan afiliasi dengan kelompok anarko, berdasarkan bukti digital berupa grup percakapan yang secara eksplisit mencantumkan identitas tersebut. Dalam konteks ini, polisi tengah mendalami dugaan keberadaan aktor intelektual yang berperan sebagai penggerak provokatif, serta memprofilkan aktivitas anggota lainnya untuk mengantisipasi potensi ancaman lanjutan. “Kami akan terus memburu jaringan kelompok ini demi menjaga Semarang tetap aman dan terbebas dari tindak anarkis yang mengarah pada kriminalitas,” tegas Syahduddi.
Insiden ini bermula dari aksi damai yang digelar oleh serikat buruh di depan Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Jawa Tengah, Jalan Pahlawan, Semarang. Aksi tersebut semula berlangsung tertib dan sesuai prosedur. Namun, dinamika berubah drastis ketika sekelompok massa berpakaian serba hitam—yang kemudian diidentifikasi sebagai kelompok anarko—melakukan tindakan destruktif: pembakaran, pengrusakan fasilitas publik, hingga penyerangan terhadap petugas pengamanan.
Kericuhan menyebabkan kerugian materiel yang belum sepenuhnya teridentifikasi serta mengakibatkan tiga personel kepolisian mengalami luka. Selain kerusakan pagar dan taman, fasilitas umum di sekitar lokasi juga dijadikan senjata oleh pelaku untuk menyerang petugas. Tindakan represif terukur oleh aparat dilakukan untuk membubarkan massa, dan situasi dinyatakan terkendali kembali menjelang pukul 17.45 WIB, bersamaan dengan berakhirnya batas waktu legal aksi.
Tinjauan Akademik dan Implikasi Kebijakan
Dari perspektif hukum, tindakan aparat kepolisian merujuk pada prinsip law enforcement berbasis proportional force sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya pada kewenangan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Penerapan pasal-pasal KUHP terhadap pelaku kericuhan mengindikasikan penegakan hukum yang berlandaskan pembuktian dan proses penyelidikan berbasis digital forensik.
Sementara dari sisi politik hukum, fenomena kelompok anarko mencerminkan bentuk resistensi sosial non-konvensional yang kerap memanfaatkan momentum peringatan buruh sebagai saluran ekspresi perlawanan terhadap institusi negara. Hal ini menuntut pemutakhiran pendekatan kebijakan keamanan non-konfrontatif yang mampu membedakan antara gerakan sosial damai dengan tindakan radikal anarkis.
Dalam konteks etika demonstrasi dan hak berekspresi, peristiwa ini sekaligus menjadi refleksi atas pentingnya manajemen aksi publik yang menjunjung asas legalitas dan non-violence. Perlindungan terhadap hak menyampaikan pendapat di muka umum harus tetap sejalan dengan upaya pencegahan terhadap infiltrasi kelompok-kelompok dengan potensi kekerasan.
Insiden Mayday 2025 di Semarang menegaskan kembali urgensi penguatan sinergi antara aparat keamanan, masyarakat sipil, dan otoritas hukum dalam menjaga ruang publik yang aman, demokratis, dan tertib. Pengungkapan jaringan anarko serta langkah-langkah preventif ke depan menjadi bagian penting dalam meneguhkan supremasi hukum dan kestabilan sosial-politik di ruang urban kontemporer.
Pewarta: Nandang Bramantyo
Editor Akademik: Nandang Bramantyo

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal