RI News Portal. Pesisir Selatan, 23 November 2025 – Praktik penanaman kelapa sawit di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) terus menjadi sorotan karena secara tegas dikategorikan sebagai tindak pidana lingkungan. Kegiatan ini tidak hanya melanggar ketentuan penggunaan kawasan hutan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian negara dalam skala besar, baik secara finansial maupun ekologis.
Para pakar hukum lingkungan menegaskan bahwa kawasan hutan, termasuk HPT, hanya boleh dimanfaatkan sesuai fungsi pokoknya, yaitu untuk konservasi, perlindungan, atau produksi hasil hutan kayu yang berkelanjutan. Penanaman komoditas perkebunan seperti kelapa sawit hanya diperbolehkan setelah melalui proses pelepasan kawasan hutan menjadi Area Penggunaan Lain (APL) serta konversi lahan yang memenuhi seluruh tahapan perizinan sesuai peraturan yang berlaku. Tanpa proses tersebut, setiap penanaman sawit di dalam kawasan hutan otomatis diklasifikasikan sebagai perusakan hutan.
“Praktik ini merupakan bentuk pelanggaran berat terhadap tata ruang dan fungsi kawasan hutan,” ujar Dr. Rasional Suryaman, pakar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia. “Negara telah menetapkan mekanisme yang jelas: pelepasan kawasan, pertukaran kawasan (jika diperlukan), dan perizinan berbasis lahan APL. Mengabaikan prosedur tersebut sama artinya dengan melakukan okupasi ilegal atas aset negara.”

Pelaku penanaman sawit ilegal di kawasan hutan dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Ancaman pidananya bersifat kumulatif, yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun serta denda yang dapat mencapai Rp7,5 miliar. Dalam beberapa putusan pengadilan, besaran denda juga dihitung berbasis luas kerusakan, mencapai Rp25 juta per hektare.
Ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja semakin mempertegas posisi ini. Perusahaan yang telah memiliki izin usaha perkebunan sebelum UU Cipta Kerja berlaku diberi tenggat hingga 2 November 2023 untuk menyelesaikan seluruh kewajiban administratif dan pemenuhan pelepasan kawasan. Kegagalan memenuhi batas waktu tersebut otomatis menempatkan pelaku pada ranah pidana.
Selain ancaman sanksi pidana, praktik ini menyebabkan kerugian negara yang bersifat multidimensi. Kerugian finansial mencakup hilangnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor kehutanan, biaya rehabilitasi lahan, serta potensi kehilangan karbon kredit di masa depan. Dari sisi ekologis, deforestasi untuk perkebunan sawit di kawasan hutan mengakibatkan penurunan fungsi hidrologis, kehilangan habitat satwa dilindungi, serta peningkatan emisi gas rumah kaca.
Baca juga : Pemerintah Pusat Mulai Susun Strategi Terpadu Hadapi Lonjakan Mobilitas Nataru 2025–2026
“Setiap hektare hutan yang dirambah secara ilegal berarti negara kehilangan aset ekologis dan ekonomi dalam jangka panjang,” tambah Rasional Suryaman. “Kerugian ini tidak hanya dihitung dari nilai kayu yang hilang, tetapi juga dari fungsi jasa lingkungan yang tidak tergantikan.”
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam beberapa tahun terakhir terus memperkuat operasi pengawasan berbasis satelit dan patroli terpadu. Sejumlah kasus besar telah berhasil diungkap dan diproses hingga tingkat pengadilan, menunjukkan komitmen negara dalam menutup celah praktik ilegal tersebut.
Para pengamat berharap penegakan hukum yang konsisten dapat memberikan efek jera sekaligus mendorong pelaku usaha untuk beralih ke praktik perkebunan yang legal dan berkelanjutan, khususnya dengan memanfaatkan lahan-lahan terdegradasi di luar kawasan hutan.
Pewarta: Sami S.

