
RI News Portal. Denpasar, 17 Juli 2025 – Kepolisian Resor Kota (Polresta) Denpasar memberikan klarifikasi resmi terkait kasus penusukan yang dilakukan oleh seorang anggota organisasi masyarakat (ormas) di Jalan Imam Bonjol, Denpasar. Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan kekerasan fisik yang berakar pada konflik lalu lintas, sekaligus mencerminkan tantangan penegakan hukum terhadap perilaku agresif di ruang publik.
Menurut keterangan Kasi Humas Polresta Denpasar AKP Ketut Sukadi, pelaku berinisial GS alias Su (31) telah diamankan dan ditahan di Rumah Tahanan Polresta Denpasar. Sementara adik pelaku, KA (29), masih diperiksa sebagai saksi karena berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) saat peristiwa berlangsung. “Pelaku (GS) terlibat penganiayaan berat dan sudah ditahan di Rutan Polresta Denpasar,” ujar AKP Sukadi.
Berdasarkan hasil penyelidikan, insiden terjadi pada Selasa, 15 Juli 2025, pukul 10.00 Wita. Korban, seorang ayah dua anak berinisial AK (32), tengah mengemudi dari arah Jalan Pulau Galang menuju Jalan Imam Bonjol. Saat melewati kawasan selatan lampu lalu lintas simpang Imam Bonjol–Gunung Soputan, arus lalu lintas tersendat.

Dalam kondisi macet tersebut, pelaku menghampiri mobil korban. Begitu korban menurunkan kaca jendela, GS langsung menusukkan senjata tajam ke arah dada kanan korban, mengenai bagian dekat ketiak. KA, adik pelaku, berada di lokasi dan berusaha menarik kakaknya kembali ke mobil setelah insiden terjadi.
Motif penyerangan, menurut pengakuan pelaku, dipicu oleh emosi akibat serempetan kendaraan di jalan. Tim Opsnal Jatanras Polresta Denpasar yang dipimpin Iptu I Kadek Astawa Bagia bersama Unit Reskrim Polsek Denpasar Barat segera bergerak dan menangkap GS di tempat tinggalnya, Jalan Imam Bonjol Gang Merta Agung.
Kasus ini menyoroti fenomena road rage atau agresi di jalan yang kerap berujung pada kekerasan fisik. Dalam perspektif kriminologi, tindakan pelaku merefleksikan impulsivitas tinggi dan lemahnya pengendalian emosi, terutama dalam konteks interaksi sosial yang tertekan di ruang publik. Keanggotaan pelaku dalam ormas juga menambah lapisan masalah, mengingat peran ormas idealnya berbasis pengabdian sosial, bukan intimidasi.
Baca juga : Menteri PPPA Apresiasi Ketangguhan Anak dan Orang Tua di Kampung Pemulung Ciketing Udik
Selain itu, penggunaan senjata tajam di ruang publik mengindikasikan adanya potensi kriminalitas terencana atau setidaknya membawa alat berbahaya dalam aktivitas sehari-hari, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam.
Pelaku GS dijerat dengan pasal terkait penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP, yang mengancam hukuman penjara paling lama 5 tahun. Apabila terbukti adanya unsur niat membunuh (dolus eventualis), maka dakwaan dapat diperluas ke Pasal 338 KUHP (pembunuhan). Selain itu, kepemilikan dan penggunaan senjata tajam dapat menambah beban hukuman.
Polisi juga mendalami keterlibatan KA untuk memastikan apakah ia turut serta (medepleger) atau sebatas saksi yang mencoba melerai. Keterangan awal menunjukkan KA tidak berperan aktif dalam kekerasan, sehingga status hukumnya masih sebagai saksi.
Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan publik terkait peran ormas dan potensi penyalahgunaan identitas kelompok untuk melakukan intimidasi. Perlu langkah preventif melalui pengawasan organisasi kemasyarakatan, edukasi pengendalian emosi di jalan, dan kampanye anti-senjata tajam di ruang publik.
Dalam perspektif kebijakan, pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum dapat merumuskan regulasi lebih ketat terkait atribut ormas dan kepemilikan senjata tajam, disertai program rehabilitasi perilaku agresif.
Pewarta : Jhon Sinaga
