RI News Portal. Sulawesi Utara 12 November 2025 – Dalam konteks kajian hukum pidana ekonomi dan penegakan undang-undang sumber daya energi, kasus dugaan perdagangan bahan bakar minyak (BBM) ilegal jenis solar di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, mencerminkan tantangan struktural dalam implementasi kebijakan publik. Beberapa waktu lalu, instruksi tegas dari Kapolda Sulawesi Utara dan Gubernur YSK untuk menangkap pelaku mafia BBM ilegal sempat menjadi perbincangan luas di media sosial. Instruksi tersebut, yang menekankan penindakan terhadap praktik penimbunan dan distribusi ilegal yang meresahkan masyarakat, diharapkan menjadi titik balik dalam pemberantasan kejahatan ekonomi ini. Namun, hingga kini, persepsi publik cenderung menilai upaya tersebut sebagai sekadar retorika tanpa substansi, atau bahkan sebagai strategi pencitraan semata.
Analisis hukum terhadap kasus ini merujuk pada Pasal 53 dan 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang mengatur larangan perdagangan BBM subsidi di luar mekanisme resmi. Pelanggaran ini tidak hanya merugikan keuangan negara melalui subsidi yang bocor, tetapi juga menciptakan distorsi pasar yang membebani konsumen akhir, khususnya di wilayah pedesaan seperti Minahasa. Masyarakat setempat, melalui berbagai testimoni yang dikumpulkan dari lapangan, menyatakan bahwa aktivitas ilegal ini telah mengakibatkan kelangkaan solar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), sehingga petani dan nelayan kesulitan memperoleh pasokan untuk operasional sehari-hari.

Fokus utama kritik publik tertuju pada sosok yang disebut-sebut sebagai Sriwanty beserta jaringannya, yang diduga beroperasi secara sistematis tanpa hambatan hukum signifikan. Disebut-sebut “kebal hukum” karena dugaan aliran dana proteksi ke berbagai pihak, operasi ini melibatkan mobil pick-up yang dimodifikasi menjadi tangki berkapasitas hingga 2.000 liter. Kendaraan tersebut kerap terpantau melintas dari arah Sawangan menuju Sonder, melewati wilayah Tondano, sebelum akhirnya menuju gudang penimbunan milik Sriwanty. Di lokasi tersebut, BBM ilegal ditimbun dan kemudian didistribusikan ulang menggunakan tangki berkapasitas 16.000 kiloliter bertuliskan “Transportir”. Praktik ini, menurut observasi langsung di lapangan, memungkinkan penyedotan massal dari SPBU di Desa Sonder dan sekitar Minahasa, yang pada gilirannya memperburuk akses masyarakat terhadap BBM subsidi.
Dari perspektif hukum administrasi negara, kegagalan penindakan ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang akuntabilitas aparat penegak hukum di tingkat lokal. Kapolres Minahasa, AKBP Steven J.R. Simbar, SIK, beserta Kasat Reskrim, hingga saat ini memilih sikap diam dan belum menunjukkan langkah konkret. Hal ini dianggap sebagai pembangkangan terhadap instruksi Kapolda dan Gubernur YSK, yang secara eksplisit menargetkan pemberantasan mafia BBM ilegal. Dalam teori hukum pidana, prinsip command responsibility mengharuskan pimpinan unit untuk bertanggung jawab atas kelalaian bawahan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Kepolisian. Kegagalan ini tidak hanya melemahkan kepercayaan publik, tetapi juga berpotensi membuka celah korupsi kolusif, di mana aliran “setoran” diduga menjadi faktor penghambat.
Baca juga : DPR Dorong Transformasi Industri Agro Nasional di Tengah Tekanan Impor dan Penurunan Daya Saing
Masyarakat Minahasa, melalui aspirasi yang disuarakan dalam berbagai forum lokal, secara tegas menuntut pencopotan Kapolres dan Kasat Reskrim atas dugaan kegagalan total dalam menjalankan tugas. Mereka menilai bahwa tanpa intervensi langsung dari Kapolda, praktik ilegal ini akan terus berlanjut, merugikan negara melalui hilangnya pendapatan pajak dan subsidi, serta masyarakat Sulawesi Utara yang bergantung pada BBM untuk aktivitas ekonomi. Kajian hukum komparatif menunjukkan bahwa kasus serupa di daerah lain, seperti di Jawa Timur, berhasil ditangani melalui operasi gabungan dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang melibatkan audit forensik dan penyitaan aset.
Untuk mengatasi impasse ini, diperlukan pendekatan hukum yang holistik: penguatan mekanisme pengawasan internal Polri, penerapan sanksi administratif bagi aparat yang lalai, serta kolaborasi dengan kejaksaan untuk proses pidana cepat. Tanpa langkah tegas, instruksi pimpinan daerah berisiko menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di sektor energi. Kapolda Sulawesi Utara diharapkan segera bertindak, bukan hanya untuk menangkap pelaku utama seperti Sriwanty, tetapi juga untuk memulihkan integritas institusi di mata publik. Kerugian yang ditimbulkan sudah terlalu besar—baik secara ekonomi maupun sosial—untuk ditunda lebih lama.
Pewarta : Marco Kawulusan

