
RI News Portal. London, 15 Juli 2025 — Pemerintah Inggris mengungkapkan bahwa lebih dari 4.500 warga Afghanistan, termasuk mereka yang pernah bekerja sama dengan militer Inggris, telah diam-diam direlokasi ke wilayah Britania Raya. Langkah ini diambil menyusul kebocoran data identitas hampir 19.000 warga Afghanistan yang berpotensi menjadi target serangan dari kelompok Taliban.
Kebocoran tersebut terjadi pada tahun 2022 akibat kesalahan pengiriman email oleh seorang pejabat Kementerian Pertahanan. Namun, pemerintah baru menyadari insiden itu 18 bulan kemudian, ketika sebagian data muncul di media sosial. Untuk mencegah penyebaran informasi lebih lanjut, pemerintahan saat itu (Partai Konservatif) mengajukan permintaan ke Pengadilan Tinggi Inggris untuk menerbitkan super injunction—sebuah larangan hukum langka yang bahkan melarang publik mengetahui keberadaan perintah tersebut.
Setelah kebijakan itu dicabut pada Selasa (15/7), Menteri Pertahanan John Healey dari pemerintahan Partai Buruh menyampaikan permohonan maaf kepada para korban. “Saya menyampaikan penyesalan atas kebocoran ini dan keterlambatan transparansi kepada publik serta parlemen,” ujarnya di hadapan anggota House of Commons.

Pemerintah menyatakan bahwa program relokasi rahasia ini akan segera ditutup setelah merampungkan proses pemindahan terhadap sekitar 6.900 warga Afghanistan, dengan total anggaran mencapai £850 juta (sekitar Rp19,2 triliun). Mereka yang direlokasi termasuk 900 pemohon utama dan sekitar 3.600 anggota keluarganya. Kajian independen menyebut bahwa risiko tambahan terhadap para pengungsi akibat kebocoran data tergolong rendah, karena Taliban telah memiliki banyak informasi tentang warga Afghanistan yang pernah bekerja sama dengan Barat.
Namun, kelompok pembela pengungsi dan HAM menilai langkah pemerintah tidak cukup. Pengacara Sean Humber dari firma hukum Leigh Day menyebut kebocoran tersebut sebagai “bencana besar” yang menyebabkan ketakutan dan kecemasan luar biasa. Sementara itu, Nooralhaq Nasimi dari Asosiasi Afghanistan dan Asia Tengah mengatakan bahwa ribuan warga Afghanistan yang pernah mendukung misi Inggris merasa dikhianati, dan mendesak pemerintah untuk memberikan kompensasi serta perlindungan lebih lanjut.
Baca juga : Pemerintahan Netanyahu Terancam Runtuh Usai Partai Ultra-Ortodoks Mundur dari Koalisi
Sejak jatuhnya Kabul ke tangan Taliban pada 2021, Inggris telah merelokasi lebih dari 36.000 warga Afghanistan melalui berbagai jalur. Meski begitu, masih ada ribuan lainnya yang belum terselamatkan dan diyakini berada dalam ancaman penyiksaan, penahanan, atau bahkan kematian.
Super injunction yang dikeluarkan pemerintah ini menjadi sorotan tajam karena membungkam kontrol publik dan pers. Hakim Martin Chamberlain dari Pengadilan Tinggi menyebut kebijakan tersebut “menimbulkan kekosongan pengawasan” dan “masalah serius bagi kebebasan berpendapat dalam demokrasi.”
Kasus ini merupakan super injunction pertama yang diketahui pernah diberikan kepada pemerintah Inggris — yang biasanya hanya digunakan dalam kasus selebritas atau perkara privat.
Pewarta : Setiawan S.TH
