
RI News Portal. Semarang – Penyidik Kepolisian telah melimpahkan berkas perkara kasus kejahatan seksual terhadap puluhan anak di bawah umur dengan tersangka S ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Semarang. Kasus ini, yang melibatkan setidaknya 31 korban, menyoroti kompleksitas penanganan kejahatan siber dan perlindungan anak di Indonesia. Meskipun tersangka berdomisili di Jepara, persidangan akan dilangsungkan di Semarang, Jawa Tengah, mengingat sebagian besar saksi dan korban berasal dari kota ini.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Kota Semarang, Sarwanto, menjelaskan bahwa keputusan lokasi persidangan didasarkan pada pertimbangan logistik dan kemudahan akses bagi para korban dan saksi. Tersangka S saat ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Semarang sambil menunggu proses persidangan.
Tersangka S, yang berasal dari Kabupaten Jepara, diduga telah mengelabui puluhan korban yang seluruhnya masih di bawah umur. Perbuatan keji ini terjadi dalam rentang waktu Agustus 2024 hingga Maret 2025. Modus operandi pelaku memanfaatkan platform media sosial Telegram, di mana ia menggunakan empat akun berbeda untuk merayu korbannya. Tersangka berpura-pura sebagai pelajar SMA saat berinteraksi dengan para korban, membangun kepercayaan sebelum melancarkan aksinya.

Lebih lanjut, pelaku juga diketahui mengelabui korban untuk membuat video dan foto telanjang. Materi intim ini kemudian digunakan untuk melakukan pemerasan dan pengancaman, menambah dimensi kejahatan yang serius terhadap privasi dan keamanan digital anak-anak. Dampak psikologis dan trauma yang ditimbulkan dari kejahatan semacam ini seringkali bersifat jangka panjang dan memerlukan penanganan serius dari berbagai pihak.
Tersangka S dijerat dengan beberapa undang-undang yang relevan dalam upaya memastikan keadilan bagi para korban dan memberikan efek jera. Undang-undang yang disangkakan meliputi:
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi: Regulasi ini secara spesifik mengatur larangan dan sanksi terkait produksi, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk yang melibatkan anak-anak.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak: Undang-undang ini memberikan kerangka hukum komprehensif untuk melindungi hak-hak anak, termasuk dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi, termasuk kejahatan seksual.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE): Undang-undang ITE menjadi krusial dalam kasus ini mengingat penggunaan platform digital seperti Telegram dalam melancarkan aksinya. UU ITE mencakup ketentuan tentang kejahatan siber, termasuk penyebaran konten ilegal dan pemerasan melalui media elektronik.
Kombinasi jeratan undang-undang ini menunjukkan keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kejahatan seksual berbasis daring yang menargetkan anak-anak.
Pewarta : Miftahkul Ma’na
