
“Proses pelabelan terhadap kelompok tertentu sering kali bukan sekadar respons terhadap perilaku menyimpang, tetapi juga merupakan mekanisme kekuasaan untuk mengontrol representasi sosial.”— Becker, Howard S.
RI News Portal. Wonogiri, 3 Mei 2025 — Perayaan Hari Buruh Internasional (May Day) yang sejatinya menjadi momentum tahunan bagi pekerja untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut hak-haknya, kembali tercoreng oleh insiden kekerasan yang terjadi di Semarang. Dalam aksi massa yang digelar di depan Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah pada 1 Mei 2025, kericuhan pecah setelah sekelompok individu berpakaian hitam, yang disebut-sebut sebagai bagian dari “kelompok anarko”, melakukan perusakan fasilitas umum dan menyerang aparat keamanan.

Menanggapi peristiwa tersebut, Nandang Bramantyo, jurnalis senior sekaligus Sekretaris Persatuan Jurnalis Wonogiri (PJW), menegaskan perlunya pembacaan yang lebih kritis terhadap dinamika sosial dalam aksi massa. Dalam wawancara eksklusif, ia mengingatkan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat merupakan hak konstitusional warga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, namun kekerasan tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apa pun.
“Teori Gerakan Sosial menjelaskan bahwa gerakan sosial bisa menjadi radikal ketika saluran ekspresi tertutup. Sementara itu, pendekatan Kriminologi Kritis menunjukkan bahwa pelabelan ideologis seperti ‘anarko’ dapat menjadi alat kontrol sosial yang mereduksi kompleksitas sosial menjadi sekadar ancaman,” jelas Nandang.
Dalam diskursus internasional, strategi berpakaian serba hitam kerap diasosiasikan dengan taktik “Black Bloc” — simbol perlawanan terhadap kapitalisme dan negara. Namun, menurut Nandang, pelabelan semacam itu dalam konteks Indonesia seringkali tidak disertai dengan kajian sosial-budaya yang memadai dan justru menciptakan stigmatisasi terhadap kelompok tertentu, terutama kalangan muda dan aktivis.
Baca juga : Dewan Pers Rencanakan Dialog dengan Komunikasi dan Digital untuk Atasi PHK Jurnalis di Media Nasional
Dari aspek hukum, Kepolisian telah menetapkan enam orang sebagai tersangka. Mereka dijerat Pasal 214 dan Pasal 170 KUHP:
- Pasal 214 KUHP: perlawanan terhadap pejabat yang sah dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih, dengan ancaman pidana hingga 7 tahun.
- Pasal 170 KUHP: pengeroyokan atau kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum secara bersama-sama.
Meskipun penerapan pasal-pasal ini dapat dibenarkan dalam konteks hukum pidana, Nandang menekankan bahwa penegakan hukum harus tetap berada dalam koridor due process of law — proses hukum yang adil, transparan, dan tidak diskriminatif. Penangkapan terhadap seseorang karena afiliasi digital atau keikutsertaan dalam grup WhatsApp tertentu, tanpa bukti keterlibatan aktif, berpotensi melanggar prinsip hukum pidana modern yang mensyaratkan pembuktian mens rea (niat jahat) secara individual.
“Asosiasi sosial tidak serta merta membuktikan keterlibatan pidana. Negara hukum harus menempatkan praduga tak bersalah sebagai prinsip utama. Represivitas yang tidak proporsional justru mengancam kebebasan sipil dan dapat memperkuat alienasi sosial,” ujar Nandang.
Lebih jauh, ia menilai bahwa kerusuhan ini mencerminkan dua wajah dari aktivisme sosial: di satu sisi, gerakan buruh yang sah dan damai; di sisi lain, potensi infiltrasi kekerasan oleh kelompok-kelompok yang belum teridentifikasi secara jelas motif maupun strukturnya. Pemerintah dan aparat keamanan dituntut untuk lebih cermat dalam membedakan antara bentuk-bentuk aspirasi konstitusional dan tindakan kriminal murni.
Insiden May Day 2025 ini menjadi ujian nyata bagi negara dalam menjalankan mandat konstitusionalnya untuk melindungi hak warga, menjaga ketertiban umum, serta menegakkan hukum dengan adil. Pendekatan hukum yang responsif dan proporsional, ditopang oleh sensitivitas sosial dan penghormatan terhadap HAM, merupakan kebutuhan mendesak dalam iklim demokrasi saat ini.
“Negara tidak boleh jatuh dalam jebakan generalisasi. Perlindungan terhadap aksi damai harus dijamin, sementara penindakan terhadap kekerasan harus dilakukan dengan cermat dan akuntabel. Hanya dengan itu, kita bisa menjaga kredibilitas hukum dan demokrasi kita,” tutup Nandang Bramantyo.
“Stigma sosial terhadap kelompok tertentu dapat memperparah fragmentasi sosial dan menghambat terciptanya masyarakat inklusif yang demokratis.”
Pewarta : Setiawan Wibisono S.Th

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal