
RI News Portal. Semarang 04 Juni 2025 – Nama Tuan Miyagi selama ini lekat dengan kata “puitis.” Sosoknya yang bijak dan penuh welas asih membuat The Karate Kid begitu ikonik. Tapi sayangnya, semua itu nyaris tak terasa dalam film terbaru waralaba ini, Karate Kid: Legends. Alih-alih membawa semangat yang sama, film ini justru terasa hambar dan kehilangan arah.
Salah satu kekuatan dari film orisinal The Karate Kid dan sekuel awalnya adalah filosofi hidup yang dibawa Tuan Miyagi. Ia bukan sekadar guru bela diri, tetapi mentor kehidupan bagi Daniel (Ralph Macchio), remaja yang tumbuh tanpa sosok ayah. Lewat karakter inilah penonton diajak memahami bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada pukulan, tapi pada belas kasih — sebuah nilai yang kini tampaknya ditinggalkan.
Sayangnya, semangat itu tak benar-benar dihidupkan kembali dalam Karate Kid: Legends. Meski film ini sempat menyentuh tema serupa, hasil akhirnya justru terasa dangkal. Tak ada nuansa emosional yang kuat, tak ada pertaruhan besar dalam alur cerita. Film ini seperti sekadar menumpang sukses dari serial Cobra Kai yang memang tengah populer.

Kisahnya mengikuti Li Fong (Ben Wang), remaja yang pindah dari Beijing ke New York bersama ibunya. Ia menghadapi tantangan sebagai pendatang baru — dari perbedaan budaya hingga tekanan sosial. Seperti dalam cerita Karate Kid klasik, ada konflik asmara, ada juga persaingan dengan anak lokal. Tapi cerita utama sebenarnya lebih dalam: Li menyimpan trauma karena menyaksikan kakaknya tewas ditikam usai pertandingan kung fu. Ironisnya, tema ini nyaris tak tergali. Cerita justru berputar-putar tanpa arah yang jelas.
Lalu bagaimana dengan Jackie Chan dan Ralph Macchio, dua nama besar yang terpampang di poster? Kehadiran mereka baru muncul setelah satu jam film berjalan. Mereka muncul sebagai mentor, melatih Li menghadapi pertandingan karate. Tapi chemistry antara keduanya terasa datar. Chan tetap menjadi master kung fu seperti dalam remake 2010, sementara Macchio tetap setia dengan gaya karate klasik. Sayangnya, penyatuan dua dunia bela diri ini tak pernah benar-benar menyatu secara cerita.
Alih-alih memberi napas baru, pertemuan mereka justru terkesan dipaksakan. Ada beberapa momen menyentuh, tapi tidak cukup kuat untuk membangkitkan emosi atau menyelamatkan film ini dari plot yang berantakan.
Baca juga : Penembakan di Lokasi Bantuan Gaza: 27 Warga Sipil Tewas, Israel Sebut Sedang Usut Insiden
Masalah lain: film ini terlalu serius. Padahal salah satu daya tarik Cobra Kai adalah humor kasarnya yang segar. Karate Kid: Legends seolah takut bersenang-senang, padahal justru di situlah daya tarik waralaba ini dulu. Momen paling menghibur malah datang dari kemunculan singkat William Zabka sebagai Johnny Lawrence di akhir film — itu pun hanya sebagai selingan.
Secara keseluruhan, film ini terasa terlalu berat di tema, tapi ringan di eksekusi. Musik latarnya pun tak nyambung, terlalu ceria untuk cerita tentang trauma dan kekerasan. Film ini mungkin bisa dinikmati penonton baru yang belum mengenal Karate Kid, tapi bagi penggemar lama, film ini bisa jadi terasa seperti nostalgia yang gagal.
“Karate Kid: Legends”, rilisan Sony Pictures, mendapat rating PG-13 karena mengandung kekerasan bela diri dan bahasa kasar. Durasi: 94 menit.
Pewarta : Vie

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal