
RI News Portal. Padangsidimpuan, 30 Agustus 2025 – Di tengah hiruk-pikuk kota Padangsidimpuan yang kini dipenuhi pusat perbelanjaan modern, kenangan tentang Bioskop Horas Theater masih melekat kuat di benak generasi lama. Bioskop yang pernah menjadi ikon hiburan utama di Tanah Tapanuli Selatan ini, kini telah bertransformasi menjadi Horas Bakery, sebuah toko roti yang ramai dikunjungi. Namun, bagi mereka yang hidup di era 1980-an, gedung itu bukan sekadar tempat menonton film, melainkan ruang sosial yang membentuk budaya populer lokal, di mana film-film Mandarin, India, Spanyol, dan nasional menjadi jembatan antara mimpi dan realitas sehari-hari.
Bioskop Horas, yang awalnya dikenal sebagai Bioskop Angkola sejak era kolonial Belanda sekitar 1930-an, mencapai puncak kejayaannya pada dekade 1980-an. Saat itu, masyarakat Padangsidimpuan belum akrab dengan televisi berwarna atau perangkat elektronik modern seperti hari ini. Hiburan utama hanyalah layar lebar bioskop, yang menyajikan beragam genre film dari berbagai belahan dunia. “Dulu, orang mencari hiburan hanya dengan nonton film di bioskop. Film Mandarin penuh aksi kung fu, film India dengan lagu-lagu romantis, film Spanyol yang misterius, dan tentu saja film nasional seperti yang dibintangi Rhoma Irama,” cerita Bang Lian, seorang mantan pekerja bioskop yang kini berusia 70-an, dalam wawancara eksklusif.

Sebagai salah satu bioskop papan atas di wilayah Tapanuli Selatan, Horas Theater bukan hanya tempat hiburan, tapi juga pusat nongkrong bagi kaum muda-mudi. Libur sekolah menjadi momen spesial, di mana remaja dari dalam kota maupun luar daerah berkumpul untuk “memadu kasih” sambil menikmati film. Salah satu daya tariknya adalah promo unik bernama “sakadupi”, singkatan dari “satu karcis dua film”. “Itu trik marketing sederhana tapi efektif. Satu tiket bisa nonton dua film sekaligus, jadi banyak pasangan muda yang datang,” ujar Bang Lian sambil tersenyum mengenang masa itu. Gedung bioskop yang terletak di Jalan Gatot Subroto ini menjadi saksi bisu kisah cinta dan persahabatan, di tengah suasana kota yang masih sederhana, tanpa kemacetan lalu lintas modern.
Cerita Bang Lian menambah kedalaman narasi ini. Ia mulai bekerja di Bioskop Horas sejak lulus SMP pada akhir 1970-an, dan bertahan hingga berkeluarga. “Saya mulai dari buruh biasa, membersihkan kursi, jual tiket, sampai mengoperasikan proyektor. Dengan gaji sederhana itu, saya bisa hidupi keluarga dengan lima anak—tiga laki-laki dan dua perempuan. Alhamdulillah, dua di antaranya lulus perguruan tinggi, dan tiga lainnya tamat SMA,” katanya. Pengalaman ini mencerminkan konteks sosial-ekonomi era itu: pekerjaan di bioskop, meski tergolong kasar, cukup untuk menopang pendidikan anak hingga tingkat tinggi. Namun, Bang Lian menyayangkan perubahan zaman. “Bandingkan dengan sekarang, hidup di Sidimpuan semakin berat. Kalau hanya pekerja buruh, sulit sekali menyekolahkan anak sampai kuliah. Inflasi, biaya hidup naik, sementara lapangan kerja terbatas,” tambahnya, menyoroti transisi dari ekonomi agraris ke urban yang lebih kompetitif.
Baca juga : Dugaan Penyalahgunaan Dana Desa 2025 di Pekon Sinar Jaya: Ketahanan Pangan Fiktif dan Janji Pengembalian
Pada masa keemasannya, Padangsidimpuan memiliki tiga bioskop utama: Rajawali, President, dan Horas. Bioskop President, yang dibangun awal 1980-an di samping Horas, serta Rajawali yang lebih tua, melengkapi ekosistem hiburan kota. Ketiganya menjadi pusat budaya pop, di mana film bukan hanya hiburan, tapi juga medium pembelajaran nilai sosial dan globalisasi dini. Namun, dengan munculnya televisi, video cassette, dan akhirnya streaming digital pada 1990-an, bioskop-bioskop ini mulai meredup. Kini, tak ada lagi suara proyektor berputar di kota ini. Bioskop Horas berubah fungsi menjadi Horas Bakery sejak awal 2000-an, sementara President dan Rajawali juga tak lagi beroperasi sebagai bioskop, meninggalkan gedung-gedung kosong yang penuh kenangan.
Di balik nostalgia, ada harapan baru. Belakangan, rumor tentang pembangunan bioskop modern di Plaza ATC (Anugrah Trade Center) beredar di kalangan warga. “Saya dengar ada rencana bioskop baru di plaza itu, tapi sampai sekarang belum terlihat tanda-tandanya. Apakah hanya cerita kosong atau benar adanya? Kita tunggu saja,” kata Bang Lian skeptis. Rumor ini mencerminkan kerinduan masyarakat akan ruang hiburan kolektif di era digital, di mana bioskop bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Jika terealisasi, bioskop baru ini potensial merevitalisasi budaya nonton bersama, sekaligus mendukung ekonomi lokal melalui kunjungan wisatawan.
Dalam perspektif akademis, fenomena Bioskop Horas mengilustrasikan evolusi media dan hiburan di masyarakat perifer seperti Padangsidimpuan. Dari era pra-digital di mana bioskop menjadi “jendela dunia”, hingga transisi ke platform online yang individualis, perubahan ini mencerminkan dinamika globalisasi dan urbanisasi. Seperti yang dianalisis dalam studi komunikasi budaya, bioskop era 1980-an tak hanya menyediakan hiburan, tapi juga membentuk identitas sosial, terutama bagi generasi muda yang mencari escapism dari rutinitas pedesaan. Kini, kenangan itu hanyalah cerita lama, tapi bagi Bang Lian dan ribuan warga lainnya, Bioskop Horas tetap abadi sebagai simbol masa keemasan yang tak tergantikan.
Pewarta : Indra Saputra
