RI News Portal. Jakarta – Jumlah korban luka akibat ledakan di lingkungan SMAN 72 Jakarta Utara terus bertambah hingga hari Sabtu (8/11/2025), mencapai total 61 orang berdasarkan data terbaru dari Posko Pelayanan Polda Metro Jaya. Insiden yang terjadi pada Jumat siang (7/11/2025) ini tidak hanya menimbulkan kepanikan di kalangan siswa dan guru, tetapi juga membuka diskusi mendalam tentang dinamika sosial di sekolah, termasuk isu bullying yang diduga menjadi pemicu utama peristiwa tragis ini.
Korban-korban kini tersebar di beberapa rumah sakit di wilayah Jakarta Pusat, dengan kondisi mayoritas stabil meski sebagian masih memerlukan perawatan intensif. Di RS Islam Cempaka Putih, sebanyak 39 pasien tercatat hingga pukul 01.30 WIB, di mana 14 di antaranya masih menjalani observasi ketat di ruang rawat inap akibat luka bakar dan pecahan tajam. Sementara itu, 25 orang lainnya telah dinyatakan membaik dan dipulangkan untuk pemulihan di rumah. Personel medis di sana melaporkan bahwa sebagian besar cedera berasal dari paparan asap dan serpihan, yang memerlukan penanganan cepat untuk mencegah komplikasi jangka panjang.
Sama seperti di fasilitas kesehatan lainnya, RS Yarsi Cempaka Putih menangani 15 korban dari SMAN 72. Dari jumlah itu, 14 masih dirawat dengan fokus pada pengobatan luka tusuk akibat paku yang tertanam di beberapa ledakan, sementara satu pasien telah diizinkan pulang setelah pemeriksaan lanjutan. Di RS Pertamina Jaya, tujuh korban menerima perawatan, dengan enam di antaranya sudah pulang dan hanya satu yang tetap inap untuk pemantauan lebih lanjut. Pantauan lapangan menunjukkan bahwa tim medis dibantu oleh personel Biddokes Polda Metro Jaya, sementara Polres Metro Jakarta Pusat mendirikan posko pelayanan di area rumah sakit untuk memfasilitasi dukungan psikologis bagi korban dan keluarga.

Ledakan yang mengguncang area sekolah di Kelapa Gading Barat itu terjadi tepat saat kegiatan shalat Jumat berlangsung di masjid sekolah, sekitar pukul 12.00 WIB. Saksi mata menggambarkan tiga titik ledakan berurutan: satu di tengah masjid, satu lagi di area dalam ruangan, dan yang ketiga di luar bangunan. “Suara keras itu seperti guntur, diikuti asap tebal yang membuat kami panik dan berhamburan keluar. Saya melihat teman-teman tertusuk paku di kepala dan tangan,” kenang seorang siswa bernama Sela, yang kala itu berada di selasar masjid sambil membantu evakuasi. Guru pengawas, Totong, menambahkan bahwa ledakan pertama terdengar sesaat setelah iqamah, memaksa jamaah bubar seketika.
Meski penyebab pasti masih dalam penyelidikan mendalam, informasi awal dari tim Gegana Brimob Polda Metro Jaya mengindikasikan bahwa ledakan berasal dari bom rakitan sederhana, kemungkinan melibatkan bahan peledak improvisasi seperti yang ditemukan di lokasi: dua senjata api rakitan model pistol Glock dan AK-47, serta bom molotov. Polisi juga menemukan tulisan provokatif seperti “Welcome to Hell” pada salah satu benda tersebut, yang menambah misteri motif pelaku. Seorang siswa berinisial FN disebut-sebut sebagai tersangka utama, yang telah ditangkap dan dibawa ke Polres Metro Jakarta Utara untuk pemeriksaan lebih lanjut. “Kami telah mengumpulkan barang bukti dan keterangan saksi, termasuk olah TKP yang masih berlangsung,” ujar seorang petugas di lokasi, yang memastikan garis pengaman tetap dipasang untuk mencegah akses tidak sah.
Baca juga : Sidak Satgas Pangan Polda Bali Pastikan Harga Beras Stabil di Pasar dan Distributor
Yang lebih mengkhawatirkan, motif di balik aksi ini diduga terkait dengan kasus bullying yang dialami pelaku. Menurut pengakuan awal dari lingkungan sekolah, FN kerap menjadi korban perundungan verbal dan fisik dari sekelompok siswa senior, yang memicu akumulasi trauma hingga berujung pada tindakan ekstrem. “Ini bukan sekadar insiden keamanan, tapi cerminan kegagalan sistem pendidikan dalam menangani dinamika sosial remaja,” kata Dr. Rina Susanti, pakar psikologi pendidikan dari Universitas Indonesia, yang terlibat dalam tim konseling pasca-insiden. Penelitian terbaru dari lembaga pendidikan nasional menunjukkan bahwa 30-40% siswa SMA di perkotaan mengalami bentuk bullying, yang jika tidak ditangani dapat eskalasi menjadi kekerasan fisik atau bahkan ancaman terorisme domestik. Kasus serupa pernah tercatat di sekolah-sekolah lain, di mana korban bullying beralih menjadi pelaku sebagai bentuk pembalasan emosional.

Pemerintah daerah dan pihak sekolah merespons cepat dengan membuka posko bantuan terpadu, yang tidak hanya menyediakan dukungan medis tapi juga layanan konseling gratis bagi siswa yang trauma. Wakil Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Lodewijk Freidrich Paulus, menyatakan komitmen penuh untuk mengusut tuntas kasus ini, termasuk evaluasi protokol keamanan di sekolah-sekolah negeri. “Kami akan perkuat program anti-bullying nasional, karena pendidikan aman adalah hak setiap anak,” tegasnya saat meninjau lokasi.
Hingga kini, petugas gabungan dari TNI AL—sebagai pemilik wilayah kompleks sekolah—dan Polri terus melakukan penyisiran untuk memastikan tidak ada ancaman lanjutan. Insiden ini menjadi pengingat pahit bahwa di balik hiruk-pikuk kegiatan sekolah, luka-luka tak kasat mata seperti bullying bisa meledak menjadi tragedi nyata. Dengan penyelidikan yang berlanjut, diharapkan keadilan bagi korban sekaligus pencegahan bagi generasi mendatang.
Pewarta : Yudha Purnama

