
RI News Portal. Jenewa, 28 Mei 2025 — Sedikitnya 47 warga Palestina dilaporkan mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan yang dilepaskan tentara Israel, saat ribuan orang menyerbu pusat distribusi bantuan kemanusiaan di Rafah, Jalur Gaza bagian selatan. Insiden ini menyoroti memburuknya krisis kemanusiaan yang terjadi di wilayah pendudukan, di tengah tekanan internasional terhadap Israel untuk menghentikan aksi kekerasan terhadap penduduk sipil.
Ajith Sunghay, Kepala Kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina, dalam konferensi pers yang digelar bersama Asosiasi Koresponden Terakreditasi di PBB (ACANU), mengonfirmasi bahwa mayoritas korban luka disebabkan oleh tembakan langsung dari Pasukan Pertahanan Israel (IDF). “Kami mendapatkan informasi kredibel bahwa kebanyakan korban luka berasal dari tembakan pasukan Israel yang dilakukan saat kerumunan warga sipil mendekati pusat distribusi bantuan,” ujarnya.

Pusat distribusi yang dimaksud dioperasikan oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah lembaga bantuan yang mendapat dukungan Amerika Serikat. Menurut otoritas lokal Gaza, ribuan warga yang dilanda kelaparan berkumpul untuk mendapatkan akses bantuan di lokasi tersebut pada Selasa (27/5). Namun, alih-alih dikelola secara aman, kerumunan justru dibalas dengan tembakan.
Kantor Media Pemerintah Gaza dalam pernyataannya menilai bahwa upaya distribusi bantuan yang dikendalikan oleh otoritas pendudukan Israel di zona penyangga telah gagal total. “Respons militer terhadap kerumunan kelaparan ini mencerminkan pengabaian terhadap prinsip dasar hukum humaniter internasional, yakni pembedaan antara kombatan dan non-kombatan, serta prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan,” tulis mereka.
Sunghay menyatakan bahwa evakuasi para pekerja Amerika dari Rafah oleh GHF setelah insiden tersebut merupakan indikasi bahwa situasi keamanan dan kemanusiaan di lapangan telah mencapai titik kritis.
Dalam pernyataan yang lebih luas, Sunghay mengungkapkan bahwa dalam sepekan terakhir, militer Israel kembali menggunakan senjata peledak besar di kawasan pemukiman dan tempat pengungsian. “Kami menyaksikan serangan demi serangan terhadap wilayah padat penduduk, termasuk rumah-rumah warga sipil dan tenda-tenda pengungsi,” katanya.
Baca juga : Gubernur Bali Soroti Kasus Perselingkuhan ASN, Tegaskan Integritas Aparatur Negara
Dampaknya sangat besar: ratusan warga sipil tewas atau terluka, dan ribuan lainnya kembali terpaksa mengungsi dari lokasi yang sebelumnya dianggap relatif aman. Ia menggarisbawahi bahwa bentuk serangan ini berpotensi melanggar Konvensi Jenewa dan dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan perang.
Lebih jauh, Sunghay mengutip Komisioner Tinggi HAM PBB, Volker Turk, yang menyebut bahwa “Israel menciptakan kondisi yang tidak sesuai dengan kelangsungan hidup kelompok masyarakat Palestina di Gaza,” dan menyebut kondisi tersebut de facto setara dengan praktik pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Situasi kemanusiaan diperburuk oleh krisis pangan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Penutupan akses penyeberangan sejak 2 Maret 2025 oleh Israel terhadap bantuan makanan, medis, dan logistik kemanusiaan semakin memperparah penderitaan warga Gaza.

“Kami menyaksikan anak-anak menderita kelaparan, gizi buruk, hingga kelaparan ekstrem. Para orang tua tak mampu lagi memberi makan. Bayi-bayi kurus kering menjadi wajah paling menyedihkan dari bencana ini,” ujar Sunghay.
Kondisi tersebut melanggar kewajiban Israel sebagai kekuatan pendudukan menurut hukum humaniter internasional, yang mengharuskan pemberi akses terhadap kebutuhan dasar penduduk sipil, termasuk makanan dan layanan medis. Dalam konteks ini, penghentian bantuan dan pengepungan menyeluruh terhadap wilayah sipil dapat dikategorikan sebagai hukuman kolektif, yang dilarang dalam hukum perang.
Dalam seruannya, Sunghay menekankan perlunya segera menghentikan kekerasan bersenjata dan menghormati hukum internasional. “Kami kembali menyerukan agar pembunuhan dihentikan. Agar penghancuran tanpa pandang bulu dihentikan. Dan agar para sandera segera dibebaskan,” katanya.

Sejak Oktober 2023, Israel telah melancarkan serangan intensif di Gaza dengan menolak seruan internasional untuk gencatan senjata. Lebih dari 54.000 warga Palestina telah dilaporkan tewas, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, menurut catatan lembaga hak asasi dan pemerintah lokal.
Tragedi kemanusiaan di Gaza tidak lagi dapat dilihat sebagai konflik biasa. Pelanggaran sistematis terhadap hukum humaniter internasional, penggunaan kekuatan berlebihan terhadap warga sipil, serta penciptaan kondisi yang tidak layak untuk hidup, menandai krisis ini sebagai salah satu catatan kelam dalam sejarah kontemporer konflik bersenjata.
Masyarakat internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB dan negara-negara mitra Israel, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk mendorong pertanggungjawaban atas kejahatan yang terjadi dan memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia universal. Gaza memanggil nurani dunia.
Pewarta : Setiawan S.TH

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal