RI News Portal. Jakarta, 17 Oktober 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menguak lapisan-lapisan tersembunyi dalam skandal pengadaan liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) yang merugikan negara hingga 140 juta dolar Amerika Serikat. Pada Kamis (16/10), mantan Sekretaris Perusahaan Pertamina Tajudin Noor (TN) diperiksa sebagai saksi, dengan fokus mendalami seluruh rantai proses pengadaan LNG sepanjang 2011-2021.
“Saksi didalami terkait proses-proses pengadaan LNG tersebut,” ungkap Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (17/10). Pemeriksaan ini menjadi bagian dari upaya KPK untuk memetakan alur transaksi yang diduga sarat praktik kolusi dan suap, mengikuti jejak kasus yang telah mengguncang manajemen BUMN energi terbesar di Indonesia.
Pendalaman serupa juga dilakukan pada saksi TAH, Business Development Manager PT Bayu Buana Gemilang, yang diperiksa dalam periode waktu yang sama. Keduanya diharapkan dapat melengkapi bukti-bukti yang telah dikumpulkan sejak penyidikan resmi dimulai pada 6 Juni 2022, melalui surat perintah KPK.
Kasus ini mencapai puncak dramatis pada 19 September 2023, ketika KPK menetapkan Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina periode 2011-2014, sebagai tersangka utama. Sebagai arsitek utama strategi pengadaan LNG, Karen dituduh memuluskan kontrak senilai miliaran dolar yang merugikan keuangan negara akibat mark-up harga dan penyimpangan tender.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kemudian menghukum Karen sembilan tahun penjara plus denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan pada 24 Juni 2024. Namun, Mahkamah Agung memperberat vonis menjadi 13 tahun penjara pada 28 Februari 2025, menegaskan keseriusan lembaga yudikatif terhadap korupsi di sektor energi strategis.
Gelombang penetapan tersangka berlanjut pada 2 Juli 2024, dengan dua nama baru: Yenni Andayani, mantan Pelaksana Tugas Dirut Pertamina, dan Hari Karyuliarto, mantan Direktur Gas Pertamina. Keduanya ditahan KPK pada 31 Juli 2025, setelah bukti kuat menunjukkan peran mereka dalam memfasilitasi aliran dana suap yang melibatkan pemasok asing dan internal korporasi.
Dari perspektif akademis, kasus ini menjadi studi kasus krusial tentang korupsi struktural dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di negara berkembang. Peneliti dari Institut Studi Ekonomi dan Hukum (ISEH) menyoroti bagaimana mekanisme tender LNG—yang melibatkan impor gas alam cair senilai triliunan rupiah—rentan terhadap principal-agent problem, di mana agen (manajemen Pertamina) menyimpang dari kepentingan prinsipal (negara).
“Pengadaan LNG 2011-2021 mencerminkan kegagalan governance korporasi BUMN, di mana konflik kepentingan antarpejabat memicu kerugian fiskal masif,” tulis Dr. Rina Susanti, pakar tata kelola energi di Universitas Indonesia, dalam jurnal Jurnal Hukum Ekonomi Indonesia edisi terbaru. Analisisnya menunjukkan bahwa 70% penyimpangan terjadi pada tahap evaluasi teknis, di mana saksi seperti Tajudin Noor berperan sebagai penjaga gerbang informasi.
Baca juga : Sengketa Tanah Ulayat di Nagari Silaut: Cacat Hukum HGU Perusahaan Kayu Hiasi Perdebatan Keadilan Agraria
Lebih jauh, kasus ini menggarisbawahi urgensi reformasi regulasi, seperti penerapan blockchain untuk transparansi tender dan audit independen berbasis AI. Tanpa intervensi, proyeksi kerugian serupa bisa mencapai Rp200 triliun hingga 2030, menurut model simulasi dari Center for Energy Economics Research (CEER).
Secara ekonomi, skandal ini melemahkan posisi Pertamina di pasar global LNG Asia Tenggara, memaksa pemerintah menaikkan subsidi energi hingga Rp150 triliun pada 2024 saja. Dari sisi lingkungan, pengadaan impor yang boros ini menghambat transisi energi hijau Indonesia, di mana LNG seharusnya menjadi jembatan menuju net-zero emission 2060.
KPK menegaskan bahwa pemeriksaan Tajudin Noor hanyalah satu benang dalam jaringan yang lebih luas. “Kami akan terus gali sampai akar rumput, termasuk keterlibatan pihak ketiga internasional,” tambah Budi Prasetyo. Publik kini menanti, apakah pengakuan saksi ini akan membuka pintu penetapan tersangka baru, mempercepat pembersihan korupsi di industri energi nasional.
Pewarta : Yogi Hilmawan

